Oleh Budi Frensidy
Menyaksikan tingginya kenaikan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama tahun 2009 dan 2010 yang mencapai 86% dan 46%, sangat wajar jika di awal tahun 2011 banyak pemilik uang di Indonesia tergoda untuk mengalihkan dananya dalam saham. Siapa yang tidak tergiur dengan return saham sebesar itu? Itu saja baru capital gain dan belum termasuk dividen.
Sebagian dari mereka lalu mencari tahu apakah sebaiknya berinvestasi saham langsung atau melalui reksadana. Menurut Anda, mana yang lebih tinggi return-nya? Banyak yang percaya kinerja reksadana saham lebih baik karena dana dikelola manajer investasi profesional yang berpengalaman dengan segudang informasi pasar, pengetahuan, dan keahliannya. Anda setuju?
Nyatanya, rerata return reksadana saham selalu di bawah IHSG dalam tiga tahun terakhir. Saat IHSG naik 3,2% di tahun 2011, indeks reksadana ekuitas Infovesta justru turun 0,25%. Pada tahun 2012, reksadana saham juga hanya naik 10,06% ketika IHSG tumbuh 12,94%. Reksadana saham juga berkinerja lebih buruk tahun lalu yaitu -3,7% berbanding IHSG yang turun 1%.
Ditotal, investor saham langsung dengan kemampuan rata-rata dan melakukan diversifikasi akan memperoleh return 15,4% selama 3 tahun atau 4,9% per tahunnya. Sementara, investor reksadana saham rata-rata hanya mengalami pertumbuhan portofolio 2,5% dari awal 2011 hingga akhir 2013 atau rata-rata 0,8% p.a.
Sayangnya, hampir tidak ada artikel yang mengupas jeleknya kinerja reksadana saham dibandingkan dengan IHSG. Bahwa sedikitnya ada lima kelemahan berinvestasi melalui reksadana saham yang perlu Anda pahami. Pertama, Anda tidak akan memperoleh dividen sebab dividen yang diperoleh reksadana saham akan direinvestasikan dalam saham dan tidak dibagikan karena satu-dua alasan. Untuk Anda ketahui, besar dividend yield ini sekitar 2% per tahun untuk saham-saham LQ-45.
Kedua, reksadana saham sering mengenakan subscription fee, management fee, dan redemption fee. Biaya ini tidak dialami investor saham langsung. Jika biaya masuk keluar ini sampai 2%-3%, siap-siap keuntungan bersih investasi Anda akan tergerus sebesar ini. Biaya sebesar ini ketinggian karena yang dilakukan manajer investasi sesungguhnya dapat ditebak yaitu membeli saham-saham berkapitalisasi besar yang juga masuk dalam LQ-45. Yang berbeda adalah bobot di masing-masing saham dan industri.
Ketiga, para manajer investasi pengelola reksadana saham umumnya menerapkan strategi aktif dengan mengandalkan analisis momentum dan teknikal. Akibat strategi dan pendekatan ini, mereka bertransaksi dengan sering sehingga biaya transaksi pun menjadi besar. Ini persis dengan yang dituliskan Barber dan Odean dalam Journal of Finance (2000) bahwa, trading is hazardous to your wealth. Tidak mengherankan, jika sebagian besar reksadana saham memberikan return (kenaikan NAB) di bawah return pasar (IHSG).
Untuk tahun lalu, hanya ada 26 reksadana saham yang memberikan return positif dan total ada 30 yang berada di atas IHSG. Sementara sekitar 100 lainnya berkinerja negatif dan juga di bawah IHSG. Jadi, sudah tidak dapat dividen, capital gain investor dalam reksadana saham sebagian besar juga lebih rendah daripada yang diperoleh investor saham langsung dengan strategi pasif menggunakan analisis fundamental.
Keempat, manajer investasi reksadana saham umumnya menerapkan strategi diversifikasi agar risikonya minimum. Padahal diversifikasi juga mengandung kelemahan. Dari beberapa artikel saya di kolom ini beberapa waktu lalu, mungkin Anda masih ingat.
Pertama, diversifikasi itu berangkat dari paradigma minimalisasi risiko dan premis bahwa investor itu adalah risk-averse. Diversifikasi menjadi kurang tepat untuk investor ritel yang risk-taker dengan paradigma maksimalisasi return.
Kedua, melakukan diversifikasi membuat Anda tidak fokus. "The more you diversify, the less you know about any one area," tulis William J. Oneil (2002). Ketiga, strategi diversifikasi akan membuat beta portofolio sekitar satu sehingga kinerja investasi akan bergerak mengikuti IHSG. Terakhir, diversifikasi akan membuat Anda tidak gesit dalam menyikapi dan mengantisipasi pasar terutama ketika pasar mulai bearish seperti bulan Agustus-September tahun lalu.
Menyadari kelemahan di atas, sebagai investor ritel, sejak beberapa tahun terakhir, saya lebih menyukai dan menerapkan portofolio yang mengandung sekitar lima saham. Sejatinya, investor saham langsung juga dapat melakukan diversifikasi sendiri jika dia setuju dengan strategi diversifikasi dan mempunyai dana cukup. Tetapi dia mempunyai pilihan lain yaitu fokus jika dia ingin memaksimalkan return.
Sebagai investor saham langsung, Anda dapat menerapkan prinsip dasar investasi buy what you know and know what you buy seperti yang dianjurkan Peter Lynch. Manajer investasi, karena harus diversifikasi dan masih mempercayai analisis momentum, kadang mengabaikan prinsip utama ini. Ketahuilah, jika manajer investasi itu sangat khawatir kinerja reksadana kelolaannya di bawah return IHSG karena akan mempengaruhi penilaian publik dan prospeknya.
Intinya, untuk saham, Anda dapat menjadi manajer investasi untuk dana sendiri. Anda dapat memperoleh dividen, bebas memilih strategi fokus atau diversifikasi, aktif atau pasif, tidak kena fee masuk dan fee keluar, dan dapat menerapkan prinsip dasar investasi ala Peter Lynch.