Tuesday 31 March 2015

Dulu Kuli, Tri Sumono Kini Bos Banyak Usaha

0 comments
Banyak orang yang harus menjalani merasakan pahitnya kehidupan sebelum meraih kesuksesan. Salah satunya adalah Tri Sumono, pemilik CV 3 Jaya. Melalui perusahaan ini, Tri mengelola banyak lini usaha, mulai dari pengemasan minuman siap saji, toko sembako, pengadaan alat tulis kantor, sampai produksi minuman kesehatan.

Kalau mengenal Tri dua puluh tahun yang lalu, mungkin Anda takkan menyangka pria kelahiran Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, ini akan jadi pengusaha sukses. Saat itu, Tri yang baru menamatkan pendidikan SMA ikut pamannya hijrah ke Jakarta pada 1993.

Lantaran belum punya keterampilan khusus, Tri pun bekerja sebagai kuli bangunan. Namun pekerjaan berat itu hanya ia lakoni selama enam bulan. Lantas, dia melamar pekerjaan sebagai tukang sapu.

Di perusahaan itu, tiap tahun Tri berubah pekerjaan. Ia pernah jadi petugas kebersihan gedung, office boy, dan sales. Saat jadi karyawan, Tri mendapat gaji Rp 250.000 per bulan. Sementara itu, sewa kontrakannya Rp 200.000 per bulan. “Sisanya itu tak cukup untuk makan saya dan istri,” tuturnya.

Tri pun mulai berjualan apa pun. Produknya beragam dan biasanya merupakan barang teman. “Mereka yang punya barang, saya yang jual dan ambil untung sedikit,” ceritanya.

Tri mencoba lebih serius dalam berjualan. Pada akhir pekan, ia menggelar lapak di kawasan Senayan. Di situ, ia bersama sang istri, Sukamti, menjual aksesori perempuan. Tri bilang, ketika itu mereka berkomitmen untuk tak makan nasi sebelum omzet mencapai Rp 300.000 dalam sebulan.

Nah, pada suatu hari ketika berjualan, istrinya mau makan bubur. Karena belum mencapai target omzet, Tri tak mau menyanggupi permintaan istrinya hingga istrinya menangis. Kejadian itu memicunya bekerja keras mencari nafkah.

Peristiwa lain ialah ketika putri pertamanya berusia dua bulan. Anak yang diberi nama Dewi Puspita Sari itu divonis gizi buruk oleh dokter. “Dua peristiwa ini membuat saya sebagai kepala keluarga merasa tertampar dan sadar bahwa saya harus berjuang untuk kehidupan yang layak,” kisahnya.

Selanjutnya, Tri membeli sebuah kios di Mal Cijantung. Setelah jam kantor usai, ia membantu istrinya berjualan aksesori perempuan di situ sampai pukul 24.00. Usahanya berkembang cukup maju. hingga pada 1999, Tri menjual kios untuk membeli rumah di Bekasi.

Dengan modal Rp 1 juta, ia membuat warung sembako di rumahnya. Agar bisa lebih fokus berjualan, Tri mengundurkan diri dari pekerjaannya. Lalu, membangun kontrakan di samping rumahnya. Akan tetapi Tri tak sekadar mengontrakkan rumahnya. Ia memilih para pedagang kakilima sebagai pengisi kontrakannya supaya bisa menjadi konsumen warung.

Setelah itu, Tri mengakui bahwa mindset bisnisnya semakin kuat. Ia melihat peluang untuk memproduksi sari kelapa (nata de coco). “Dari usaha sari kelapa, tiap minggu saya bisa untung Rp 7 juta,” kata dia.

Seiring dengan banyaknya pengalaman, keberanian berbisnis menebal. Dia pun terpikir memulai bisnis baru. Dengan modal Rp 100.000, ia mencetak kartu nama dengan jabatan direktur untuk lima jenis usaha. “Saya sengaja bagikan ketika pameran untuk melihat respons pasar,” ucap dia.

Nah, setelah menyebar kartu nama, Tri paling banyak mendapat panggilan untuk usaha pengadaan alat tulis kantor (ATK). Dari strategi itu, ia memutuskan untuk menjalani usaha pengadaan ATK. “Justru gara-gara kartu nama itu, saya dihubungi perusahaan besar untuk menyediakan ATK di kantornya,” ujarnya. Hingga kini, CV 3 Jaya masih menerima order untuk pengadaan ATK.

Di sisi lainnya, usaha sari kelapa tak berjalan mulus. Ada klien yang mengadukan kualitas buruk produk pada Tri. Bukannya patah semangat, Tri malah berterimakasih pada sang klien. “Saya bersyukur karena itu jadi jalan untuk memperbaiki usaha,” cetus dia.

Nah, ungkapan terimakasih itu justru jadi penyelamat bisnis Tri. Oleh klien yang sama, Tri diajak untuk membuat perusahaan jasa pengemasan minuman. “Mereka yang memasok bahan bakunya, jadi saya diminta menyiapkan tempat saja,” katanya. Dari kontrak selama dua tahun dua bulan, Tri mendapat pemasukan Rp 2,2 miliar.

Kemudian, Tri malah kembali melihat peluang usaha baru, yakni membuat minuman kemasan. Begitu kontrak dengan mitranya selesai, Tri mulai memproduksi kopi jahe dan kopi susu dalam kemasan dengan merek Hootrii. Minuman ini dipasarkan ke Singapura, Malaysia, Kalimantan, Sumatra, dan Maluku. Tri bilang, dari produk ini, ia bisa meraup omzet Rp 400 juta per bulan.


Minuman kesehatan

Sukses memproduksi kopi dalam kemasan, Tri tergiur untuk mengembangkan lini bisnis satu ini. Dia memutar otak untuk menemukan produk baru. Idenya datang dari fenomena bahwa masyarakat kurang menyukai beras merah. Padahal, nilai gizi beras merah sangat tinggi. Lalu Tri mencari ide agar beras merah bisa disukai dan dinikmati gizinya.

Setelah berkonsultasi dengan beberapa pakar kesehatan, ia pun mencoba membuat sari beras merah. Ternyata produknya ini lolos uji. Dus, mulai 2012, ayah dua anak ini memproduksi sari beras merah dengan merek Hootrii.

Tri bilang, tiap menyesap sari beras merah dari kemasan 24 gram, konsumen mendapat manfaat satu kilogram beras merah. Produk ini cukup diterima masyarakat. Buktinya, penjualannya melambung. Bahkan, sari beras merah jadi andalan bisnis Tri.

Produk ini menyumbang pemasukan paling besar dibandingkan berbagai usaha pembuatan produk dan penyediaan jasa di bawah bendera CV 3 Jaya. Saban bulan, Tri bisa memproduksi 2.000 kotak–2.500 kotak sari beras merah. Dari bisnis ini, Tri mengantongi omzet Rp 900 juta per bulan.

Di masa mendatang, Tri mau meluncurkan produk minuman kesehatan baru yang terbuat dari brokoli. Menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun ini, ia tengah mencari mitra bisnis dari negara lain. “Bisnis lain CV 3 tetap berjalan, tetapi saya juga mau fokus mencari bahan baku untuk membuat minuman dengan nilai gizi tinggi,” ungkap dia. 


Gemar berbagi kisah bisnis

Selama 2,5 tahun belakangan, Tri Sumono punya kesibukan baru. Sebagai pemilik CV 3 Jaya, ia mengurus berbagai jasa dan produk yang disediakan perusahaan. Di samping itu, ia tengah menikmati profesi baru sebagai motivator.

Tri mau berbagi pengalaman karena merasakan jatuh bangun dalam bisnis. “Itu yang menjadi kekuatan saya,” tandas pria kelahiran 7 Mei 1973 ini.

Setiap bulan, setidaknya, ia mengisi 10 acara seminar atau workshop soal bisnis. Biasanya, ia membagi inspirasi pada karyawan perusahaan swasta atau pemerintahan. Di samping berbagi pengalaman, Tri bilang, lantas sering bertemu orang baru, ia jadi punya banyak relasi untuk mengembangkan bisnisnya.

Kesibukan sebagai motivator membuat Tri harus sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Nah, kalau tidak sedang berada di tempat usahanya di Bekasi, Jawa Barat, Tri punya orang kepercayaan untuk mengawasi bisnis. Orang kepercayaan itu tak lain adalah istrinya, Sukamti.

Tri mengatakan, dulunya sang istri tak punya jiwa bisnis. Sukamti lebih senang mengurus kedua putri mereka di rumah daripada membantu suaminya berbisnis. Namun, Tri mengubah pemikiran istrinya itu.

Suatu hari, Sukamti minta dibelikan daster pada Tri. Lantas, bukannya memberikan satu, Tri malah memberikan selusin daster pada istrinya. “Saya bilang pada istri, simpan dua daster di lemari dan sisanya dijual. Kalau belum laku, daster yang ada di lemari belum boleh dipakai,” ujarnya.

Cara ini ternyata ampuh untuk membuat Sukamti juga tertarik berbisnis. Tri menambahkan, bisnisnya bisa berkembang pesat seperti sekarang juga lantaran didukung oleh istri. “Kalau istri tak mendukung bisnis, lebih baik berhenti karena kemungkinan besar bisnis akan gagal,” tegas Tri.

Read more...

Peluang Menjanjikan dari Budidaya Cacing Lumbricus

0 comments
Meski membuat bergidik, cacing tanah jenis Lumbricus rubellus dapat menghasilkan banyak pundi-pundi uang. Selain harganya mahal, permintaan cacing jenis ini juga tinggi di pasaran.

Maklumlah, cacing ini memiliki banyak manfaat kesehatan. Hewan berbentuk pipih ini dapat dikonsumsi dan dijadikan obat penurun kadar kolesterol, meningkatkan nafsu makan, serta menurunkan kadar gula darah dan lainnya.

Selain manfaatnya yang banyak, harga jual cacing tanah ini terbilang cukup mahal. Deden Sabarudin asal Cimahi, Jawa Barat mengatakan, harga jual cacing lumbricus sekitar Rp 50.000 per kilogram (kg).

Selain menjual cacing lumbricus, Deden juga menjual tepung cacing. Yakni, cacing yang sudah dikeringkan seharga Rp 400.000 per kg. "Tepung cacing ini murni cacing tanpa campuran apapun," tuturnya.

Melalui usaha ini, ia bisa meraup omzet hingga ratusan juta rupiah per bulan. Adapun keuntungan bersihnya sekitar 30% dari omzet.

Hasil budidayanya ini dipasarkan dari Sabang sampai Marauke. Bahkan, ia juga sudah merambah pasar luar negeri, seperti Malaysia dan sebentar lagi Korea.

Mayoritas konsumennya membeli cacing untuk keperluan pakan ternak, penyubur dan penggembur tanah, dan produksi obat herbal. 

Pria yang kerap disapa Deden ini sudah membudidayakan cacing lumbricus sejak sembilan tahun lalu. "Saya berternak cacing karena ketidak sengajaan," ujarnya.

Saat itu, ia membutuhkan cacing lumbricus untuk pakan belut peliharaannya. Ia lalu mencoba beternak cacing. Awalnya ada 200 kg. Dalam waktu delapan bulan sudah bertambah menjadi 2,2 ton cacing.

Lantaran lebih menjanjikan, akhirnya ia fokus beternak cacing. Di bawah bendera Bengkelden Agrobisnis, Deden membudidayakan cacing lumbricus di beberapa wilayah di daerah Jawa Barat, seperti Cimahi, Sumedang, dan Lembang. Di Cimahi, ia memiliki 20 rak dengan ukuran 300 sentimeter (cm) x 50 cm yang mampu menampung lebih dari 10 kg cacing.

Pemain lainnya adalah Fajar Ramadhani asal Klaten, Jawa Tengah. Laki-laki yang lebih akrab disapa Dani ini baru membudidayakan cacing lumbricus sekitar tiga bulan lalu. “Saya tertarik menekuni usaha ini karena melihat tingginya permintaan di pasaran,” ujarnya.

Kendati masih baru, dia sudah mendapatkan konsumen, meski masih terbatas di sekitar wilayah Klaten. Dengan harga jual sebesar Rp 60.000 per kg, ia mampu mengantongi omzet jutaan rupiah per bulan.

Ada pun keuntungan bersihnya yang didapatkannya hampir 100%. “Modal buat budidaya cacing ini sangat murah,” tegasnya.

Read more...

Mantan Arsitek Sukses Geluti Seni Potong Kertas

0 comments
Berawal dari keisengan membuat karya paper cutting art sebagai kado ulang tahun keponakannnya, Dewi Kucu menjadikan karya ini sebagai ladang usaha. Usaha ini dia tekuni sejak tahun 2010.

Latar belakang pekerjaannya sebagai seorang arsitek membuatnya tidak kesulitan mempelajari aneka teknik paper cutting ini. Dewi juga dekat dengan dunia kreatif ketika dia bekerja sebagai fotografer, dan digital marketer selama empat tahun.

Dari berbagai pengalaman dan keahlian yang dia miliki sebelumnya, Dewi memutuskan untuk bekerja penuh waktu menjadi seniman kertas sejak lima tahun silam. Usaha yang diberi nama dengan Cutteristic ini awalnya hanya membutuhkan modal berupa lembaran kertas, frame atau pigura, kemasan, jasa pengiriman, dan printer.

Untuk pemasaran dan promosi, Dewi menggunakan berbagai media online seperti situs, Facebook, Twitter, dan Instagram. Dalam sebulan, rata-rata ia mampu menghasilkan 20 karya paper cutting art. Terkadang dia juga menerima pesanan untuk suvenir yang jumlahnya ratusan.

Hasil karyanya dia banderol mulai dari Rp 887.000-Rp 15 juta per unit. Harga jual tergantung dari ukuran dan kerumitan pembuatan. Yang paling laris adalah paper cutting art berukuran 38 cm x 38 cm seharga Rp 1,7 juta per unit. Bila dihitung, Dewi bisa meraup omzet sekitar Rp 30 juta–Rp 40 juta per bulan. "Namun tak jarang bisa lebih dari itu," ujar dia.

Rata-rata desain yang ia buat merupakan permintaan dari pelanggan, di antaranya seperti sketsa muka untuk hadiah ulang tahun, perpisahan, pernikahan, suvenir, dan lain-lain. Namun tak jarang ia juga menghasilkan karya dari idenya sendiri. Dewi mengaku sering mendapatkan inspirasi setelah melihat aneka jenis seni lain seperti lukisan, ukiran, atau motif-motif tradisional pada kain batik.

Untuk proses pemesanan, biasanya ia akan memberikan tiga contoh desain kepada klien yang nantinya akan dikembangkan sebelum akhirnya dipotong. Pengembangan desain ini biasanya berlangsung selama tiga jam. Untuk proses pemotongan membutuhkan waktu bervariasi, tergantung dari ukuran kertas. "Paling cepat sekitar dua jam dan paling lama 41 jam," kata dia.

Dari semua karya yang pernah dia buat, ada satu karya yang menurutnya paling spektakuler. Desainnya terinspirasi dari sebuah lukisan Leonardo Da Vinci berjudul The Last Supper.

Tak mau hasilnya buruk, ia melakukan riset selama tiga bulan untuk mempelajari dengan detail mengenai lukisan itu berikut pemotongannya. "Semuanya sangat rumit, saya jual dengan harga Rp 15 juta," kenang Dewi.

Selain itu, dia juga pernah mendapatkan klien khusus yang ingin memberikan hadiah untuk mantan presiden SBY. Karyanya berbentuk setengah badan SBY dan Ani Yudhoyono.

Belum puas membuat banyak karya dari kertas, baru-baru ini dia berinovasi berupa papercut sewing. Artinya, kertas yang sudah dipotong ia sulam kembali dengan benang emas. Dewi rajin mengadakan workshop cara membuat seni potong kertas di berbagai kota besar di Indonesia. Targetnya tahun ini dia bisa mengajari 1.000 murid sekaligus melestarikan budaya Indonesia lewat seni potong kertas ini.

Read more...

Bisnis Kudapan Cantik dalam Botol Bening

0 comments
Bisnis makanan tidak melulu soal kualitas rasa. Kemasan juga penting. Maklum saja, masyarakat zaman sekarang sedang gandrung mengunggah foto makanan mereka karena tampilannya yang unik di sejumlah akun jejaring sosial seperti Instagram.

Oleh sebab itu, banyak pengusaha kuliner mencoba menarik perhatian pasar dengan menggunakan kemasan yang cantik untuk menjual produknya. Salah satunya dengan memasukkan aneka kudapan dan kue ke dalam kemasan botol beling tempat selai atau yang sering disebut jar.

Contohnya produk dari Chocorife. Si pemilik usaha, yakni Fajrin Ramdhani, menjual cokelat marshmallow dan cokelat crunchy dengan memasukkan produknya ke dalam jar. Usaha ini baru saja dia jalankan di pertengahan tahun 2014. "Anak muda saat ini suka foto-foto makanan. Itu yang membuat saya membuat makanan dengan tampilan unik," katanya.

Dani mengaku cara pembuatan cokelat marshmallow ini terbilang mudah. Dia hanya mencampurkan marshmallow berbagai rasa dengan lelehan coklat. Sedangkan untuk produk cokelat crunchy hanya mencampurkan sereal dengan cokelat leleh. Setelah itu produk dimasukkan ke dalam jar dan diberi merek.

Dengan konsep berjualan dengan kemasan seperti ini, bisnis kudapan cokelat miliknya mendapat respon bagus dari konsumen. Dalam sehari dia bisa memproduksi sekitar 20 jar sampai 50 jar cokelat. Harga jualnya dibanderol Rp 25.000 per jar. Dia mengaku bisa mengantongi omzet hingga Rp 20 juta per bulan. Laba bersih yang bisa dia raih sekitar 20%−30%.

Produk lainnya adalah kudapan dalam buatan Bunchbead. Usaha yang dimotori oleh Ferdha Agisyanto di Malang ini menawarkan lima varian cake in the jar yakni red ocean, wood pines, tropical sparkling, chocolate devil dan strawberry shortcake. Dengan penataan sedemikian rupa, kudapan menarik ini banyak diminati para mahasiswa.

Laki-laki yang lebih akrab disapa Pepeng ini mengaku menjadi pengusaha cake in the jar pertama di Malang. Pepeng bilang, cake in jar miliknya berbeda dengan lainnya karena mereka mempunyai resep kue dan fla khusus serta menggunakan bahan baku pilihan. Dia mengombinasikan kue tart dan fla dengan berbagai isian lainnya seperti marsmallow, cokelat atau buah-buahan yang dimasukkan dalam botol selai.

Pepeng menjual produknya di kafe miliknya di Malang. Rata-rata jumlah produksinya sekitar 200 jar per hari. Harganya dibanderol mulai dari Rp 17.000−Rp 25.000 per jar. Total omzet penjualan bisa mencapai Rp 50 juta−
Rp 70 juta per bulan.

Mereka memprediksi dalam tiga tahun ke depan kudapan dalam kemasan jar ini masih akan digandrungi para produsen untuk menarik konsumen. Fajrin bilang, agar tetap bisa bersaing, dia terus melakukan inovasi dan berpromosi di media sosial.

Read more...

Dari Reseller, Aprie Kini Sukses Bisnis Sendiri

0 comments
Boleh jadi, Aprie Angeline tak akan membayangkan, bisnis yang dijalaninya secara tak sengaja akan mengharumkan namanya seperti saat ini. Perjalanan wanita 23 tahun ini bisa menjadi sumber inspirasi untuk kaum muda yang ingin menjalankan bisnis sendiri. Bermula dari seorang resellerproduk online shop (olshop), kini Aprie menjadi produsen sampo dengan omzet ratusan juta rupiah saban bulan.

Perjalanan Aprie berbisnis bermula ketika dia menjejakkan kakinya di Yogyakarta untuk kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada. Baru menjalani semester pertama, Aprie merasa tak menemukan kecocokan pada dirinya. Sementara itu, dia takut mengecewakan orangtua kalau akhirnya keluar dari kampus. “Waktu itu, saya malah ingin jadi artis dan terkenal,” lanjut Aprie.

Karena merasa salah masuk jurusan, Aprie kehilangan semangat untuk kuliah. “Saya itu orangnya pelupa dan senang ngomong. Jadi, ketika masuk kedokteran saya merasa harus mengerem untuk ngomong,” ujar dia.

Aprie pun mencoba-coba bisnis online shop yang menjual baju dan sepatu. “Bisnis menjadi pelampiasan karena saya merasa tidak kuat di jurusan itu tapi tidak berani bilang ke orangtua,” kenang gadis kelahiran Sorong, 5 April 1991 ini.

Di sela-sela berbisnis online, Aprie juga sempat mengikuti sejumlah syuting sinetron dan kegiatan modeling. Namun, dia justru menemukan keasyikan berbisnis online, karena kegiatan syuting film ternyata sangat melelahkan.

Tahun 2012, Aprie cuti kuliah dan menekuni bisnis online. Dia mulai belajar dari para pemasok barang yang dijualnya, karena dia belum banyak memahami soal bisnis online. Dia juga belajar bisnis dari berbagai media sosial. “Saya belajar autodidak, modal saya waktu itu hanya jaringan di Blackberry Messenger,” ungkap dia.

Saat itu, Aprie tak lagi menjual pakaian dan sepatu. Pasalnya, ketika berbisnis pakaian, dia menemukan banyak kekecewaan. “Kami hanya bisa melihat model, sementara kualitas mengecewakan. Banyak ruginya pula, karena saya ambil untung tipis,” ujar dia. Begitu pula dengan sepatu, yang menurutnya, harus dicoba karena tidak tahu ukuran pasti kaki konsumen.


Produk herbal

Lantas, Aprie mendapat tawaran jadi reseller salah satu pemasok produk kosmetik di Jakarta. Dia mencoba produk tersebut lebih dulu, supaya lebih mengenal apa yang dijual. Setelah terbukti bagus, Aprie mulai menjajakan produk skin care buatan luar negeri itu.

Tak disangka, respons konsumen cukup baik. Waktu itu, Aprie memang sudah punya pelanggan di bisnis online-nya. “Karena saya selalu memberikan pelayanan yang baik, pelanggan percaya terhadap produk yang saya jual,” ujar dia.

Bisnis online yang diberi nama Billion Shop ini meningkat pesat. Omzet tiap bulan meningkat cepat, dari Rp 3 juta, Aprie bisa mengumpulkan omzet hingga puluhan juta rupiah dalam waktu beberapa bulan.

Dari situ, Aprie semakin yakin, online shop ini benar-benar potensial. Aprie bilang kunci bisnisnya adalah mengutamakan pelayanan yang ramah dan baik. “Saya tak pernah marah, membalas pesan konsumen pun bukan sekadar menjawab pertanyaan dia. Itu membuat konsumen makin dekat dan percaya pada kami,” terang Aprie.

Setelah punya customer based yang besar, putri pasangan Jistor Situmorang dan Lukeria Rajaguguk ini lantas berpikir untuk menghasilkan produk sendiri. Aprie yang ketika itu menghadapi masalah dengan rambutnya lantas mencoba membuat sampo sendiri.

Kembali, perempuan yang pernah mengikuti olimpiade IPA saat SMA ini mencari-cari informasi soal bahan-bahan dan cara pembuatan sampo. Dia juga aktif berkonsultasi dengan orang yang paham soal seluk-beluk pembuatan sampo. “Kebetulan, sejak SMA saya juga hobi meracik-racik, jadi sedikit banyak tahu,” terang dia.

Awal 2013, Aprie meluncurkan produk sampo buatannya, Angeline Hair Treatment (AHT). Dia menggunakan bahan-bahan herbal berkualitas untuk produk samponya. Dengan begitu, harganya relatif mahal.

Meski demikian, lagi-lagi, AHT bisa diterima pasar dengan baik dan booming. Aprie yang punya masalah rambut, yakni tak bisa panjang, menginspirasinya membuat sampo yang bisa memanjangkan rambut dengan cepat. “Sampai saat ini, produk tersebut menjadi andalan AHT,” ujar Aprie.

Dengan modal awal senilai Rp 10 juta, Aprie memproduksi 200 botol sampo. Penjualannya pun terus meningkat. Kini, dia bisa menjual lebih dari seribu paket produk AHT saban bulan. Omzet usahanya pun mencapai Rp 230 juta.

Aprie memang tak menjual sampo saja. Dalam paket perawataan rambut ini, dia menyertakanconditioner dan hair tonic. Banderol harganya berkisar Rp 200.000 per paket.

Tak berhenti pada produk perawatan rambut, dia juga mengembangkan produk herbal lainnya. Awal tahun lalu, Aprie meluncurkan gula dari nira kelapa dengan kadar glukosa yang rendah. “Saya memang tertarik dengan produk-produk sehat,” ujar dia.

Ide pembuatan gula ini berasal dari pengalaman di keluarga, setelah sang kakek meninggal akibat diabetes. “Saat itu, saya berpikir bikin produk untuk menolong penderita diabetes,” cetus Aprie yang kini membawahi 20 karyawan untuk usaha samponya. 

Pemasaran Java Sweet Sugar juga mengandalkan online. Kini, usaha yang melibatkan 25 petani kelapa ini, sudah menjual ratusan stoples setiap bulan. “Gula ini lagi naik daun,” kata dia. Bukan hanya di Yogyakarta, penjualan gula nira sudah mencapai kota-kota besar di Indonesia.

Aprie pun tak berhenti berkreasi. Yang terbaru, dia juga menciptakan frescare, semacam masker wajah herbal. Selain itu, dalam waktu dekat, dia pun berencana membuat lotion pelembap herbal. 


Hikmah gagal jadi dokter

Meski masih muda, bukannya Aprie Angeline tak punya pengalaman yang berarti dalam hidupnya. Dia pernah mengalami depresi ketika harus menjalani kuliah yang tak sesuai pilihannya.

Bahkan, saat itu, sempat terlintas dalam pikiran Aprie untuk bunuh diri. “Saya de-presi banget. Mau ngomong sama ortu enggak berani karena sudah mengeluarkan biaya dan banyak orang yang tahu,“ tutur dia. Permintaan menjadi dokter memang datang dari kedua orangtuanya, karena belum ada dokter di keluarga mereka.

Namun, dari situlah, lantas dia memperoleh hikmah, untuk menggapai kesuksesan lainnya. Aprie pun selalu gigih dan bertekad mencapai apa yang ia impikan. “Setelah melihat bisnis online lumayan, orang tua ikhlas untuk melepas saya tidak menjadi dokter,” kata Aprie yang bertekad sukses sejak muda.

Dalam berusaha, gadis berusia 23 tahun ini juga punya prinsip untuk selalu berjuang dan tak mudah menyerah, terutama saat menghadapi masalah.

Aprie bercerita, saat mengembangkan produk perawatan rambut, ia pernah menuai komentar negatif dari pebisnis lain. “Ada orang yang tidak suka, lalu menjatuhkan saya,” kenang dia.

Meski sempat syok, namun, Aprie tak terlalu ambil pusing. Dia percaya, kualitas akan menguji produknya. Dan, nyatanya, omzet penjualannya tidak menurun, justru semakin naik. “Konsumen mengirim foto rambut mereka, kualitas yang berbicara,” ujar dia senang.

Berkaca dari pengalaman tersebut, dia berkeyakinan, Tuhan akan selalu bersama dengan orang-orang yang baik. “Kalau kita bisnis untuk membantu orang lain, Tuhan pasti akan memuluskan jalan,” ujar dia. Itu sebabnya, ia berpesan untuk berbisnis berlandaskan niat baik. Selain itu, pebisnis harus punya mimpi agar ada tujuan yang ingin dicapai dan punya jaringan luas.

Read more...

Mencicipi Manisnya Usaha Selai Rumahan

0 comments
Anda pasti pernah makan selai, bukan? Lazimnya selai dinikmati sebagai pelengkap roti. Tak jarang selai juga dijadikan isian kue seperti nastar. Saat ini, selai tak hanya diproduksi oleh pabrik. Banyak pengusaha yang memproduksi selai homemade alias buatan rumahan. Bahan baku yang digunakan alami, tapi dengan harga yang bersaing.

Para produsen selai rumahan bilang, mereka membuat selai sebagai alternatif produk pabrik. Dus, bahan baku yang digunakan kebanyakan bahan lokal tanpa bahan pengawet. Meski tidak tahan begitu lama, keunggulan selai ini adalah rasa enaknya yang alami. Peluang usahanya pun cukup menggiurkan.

Ambil contoh Kalalina yang memproduksi selai dengan merek Lynelle di Jakarta Utara. Ketika merintis bisnis pada 2011, ia hanya memproduksi sekitar 10 botol selai per bulan. Kini, kapasitas produksinya naik drastis hingga 300 botol selai saban bulan. “Pasar di Jabodetabek masih sangat luas, apalagi untuk daerah-daerah lain,” kata perempuan yang akrab disapa Lina ini. Menurut dia, peluang usaha pembuatan selai rumahan masih terbuka lebar. Tren gaya sehat yang kini digandrungi banyak orang sangat membantu bisnisnya.

Ketika merintis usahanya 2011 lalu, Lina mengaku harus mengedukasi masyarakat mengenai produknya. Apalagi, kala itu, belum banyak produk selai rumahan. Masyarakat masih terbiasa dengan selai buatan pabrik, baik yang lokal maupun impor. Padahal, selai tersebut rentan dengan penggunaan bahan pengawet, pewarna, dan perasa tambahan.

Namun, saat ini, masyarakat sudah lebih sadar tentang pentingnya produk konsumsi yang sehat. “Sebagai produsen, saya dimudahkan untuk memasarkan selai rumahan dengan munculnya tren gaya hidup sehat,” ucap dia.

Hal serupa dialami oleh Sheilli Amina Nagib, owner selai Alanna di Bogor, Jawa Barat. Perempuan berusia 28 tahun ini fokus memproduksi selai rumahan dari bahan baku organik. Sejauh ini, Amina baru memproduksi selai stroberi dengan harga jual Rp 30.000 per botol ukuran 130 gram.

Kapasitas produksi selai Alanna sekarang mencapai 500 botol per bulan. Dus, dari usaha ini, Amina bisa mengantongi omzet di kisaran Rp 20 juta–
Rp 25 juta saban bulan. Baik Amina maupun Lina bilang, laba bersih berkisar 30%.

Keduanya tak mau mematok harga terlampau tinggi untuk produknya lantaran masih dalam penetrasi pasar. Selain itu, “Sebagai bentuk idealisme sendiri karena ingin mengenalkan produk sehat dan alami pada masyarakat,” tutur Amina.

Amina bilang, ia memang sudah lama ingin membuat produk yang berbahan baku alami. Lantas, pada pertengahan 2013, ia memutuskan memproduksi selai. Pasalnya, selama ini, selai identik dengan produk yang menggunakan zat aditif. “Saya mau mengubah pandangan itu, jadi saya bikin produk yang dikonsumsi sehari-hari, tapi tanpa bahan kimia alias serba natural,” cetus dia.

Amina juga mengatakan masyarakat sudah lebih terbuka terhadap produk yang mendukung gaya hidup sehat. “Malahan sekarang konsumen yang mencari selai organik, jadi saya tak perlu gencar lagi melakukan edukasi,” kata dia.

Pemain lain di usaha selai ialah Mei Suling, pemilik Oma Anna Homemade Jam di Bandung. Usaha selainya dimulai pada awal 2009. Setelah 11 tahun bekerja kantoran di Jakarta dan Bali, Mei berkeinginan untuk memiliki usaha sendiri “Akhirnya pada awal 2009 saya mulai jalani sedikit demi sedikit,” tuturnya.

Kini, dalam sebulan, Mei bisa memproduksi 200 botol–300 botol selai. Oma Anna menawarkan empat varian rasa selai, yakni orange jasmine, apple mint, stroberi cinnamon, dan passionfruit & mango.Tiap botol selai dibanderol pada harga Rp 55.000–Rp 60.000.

Di sisi lain, Lina berujar, persaingan usaha selai rumahan ini masih longgar. Pemain lokal bisa dihitung jari. Yang penting rajin dan konsisten mengenalkan merek pada konsumen.

Pasalnya, selain sesama produsen selai, mereka juga harus bersaing dengan selai impor. Dengan pasar yang masih bertumbuh, usaha ini punya potensi yang bagus untuk digeluti. “Dari segi kualitas, selai rumahan tidak kalah bagus, tapi yang menjadi persoalan bagaimana supaya merek kami dikenal masyarakat luas,” ujar Lina. Menurut perempuan berusia 39 tahun ini, butuh waktu sekitar setahun agar merek selai Lynelle diterima pasar.

Sejauh ini, selai Lynelle memiliki lima varian rasa yang merupakan campuran rasa stroberi dengan rasa buah lain seperti blackberry, raspberry, dan pisang. Ia membanderol selai tersebut Rp 45.000 per botol ukuran 275 gram.


Modal tipis

Anda tergiur menjajaki bisnis ini? Bisnis rumahan satu ini tidak membutuhkan modal terlalu besar. Kalau mau, dengan uang jutaan rupiah, Anda bisa merintis usaha pembuatan selai. Dengan catatan, Anda menggunakan dapur dan peralatan yang sudah ada untuk proses produksi.

Amina misalnya, hanya merogoh kocek Rp 2 juta sebagai modal awal. “Saya gunakan modal itu untuk bahan baku karena semua peralatan sudah ada, dan saya tak perlu menyewa tempat,” ujarnya.

Namun, kalau Anda belum punya peralatan memasak, perkiraan modal awal sekitar Rp 15 juta. Itulah besaran modal yang dikeluarkan Lina. Selain untuk menyetok bahan baku, modal itu dipakai untuk membeli panci dan peralatan dapur lain. Adapun Mei menyebut, modalnya untuk usaha selai rumahan hanya sekitar Rp 5 juta, untuk membeli buah, gula, panci, dan kemasan botol.

Proses membuat selai ini tak terlalu rumit. Bahan baku berupa buah dibersihkan dulu, lantas diolah alias dimasak di panci dan dimasukkan ke dalam kemasan botol. Mei menjelaskan, Selai Oma Anna dibuat dengan metode lama. Buah direbus berjam-jam sampai kadar airnya sedikit, kemudian dicampur dengan gula dan pengental,baru dibotolkan.

Untuk tempat produksi, dapur rumah saja sudah cukup. Dengan kata lain, tak perlu menyewa tempat. “Semua produk selesai dibuat langsung saya kirim, jadi tidak butuh disimpan,” ucap Amina.

Daya tahan selai ini beragam. Selai organik yang dibuat Amina bisa bertahan hingga tiga bulan. Sementara selai buatan Lina bisa dikonsumsi sampai enam bulan seusai diproduksi. Tentu saja, selai harus dijauhkan dari siraman sinar matahari dan sebaiknya disimpan di dalam kulkas. Penggunaan gula membuat produk ini cukup awet secara natural.

Kemasan botol kaca yang tertutup rapat juga membantu selai untuk bertahan cukup lama. Rata-rata produsen selai menggunakan botol kaca sebagai kemasan. Selai sudah identik dikemas seperti itu. Lagipula, botol kaca ramah lingkungan dibandingkan dengan kemasan seperti plastik. Botol kaca bisa dipesan dari pemasok atau distributor botol kaca lokal.

Nah, yang jadi tantangan usaha ini ialah pemilihan pemasok bahan baku, terutama buah. Kebanyakan buah dipesan dari supplier lokal, kecuali blackberry yang digunakan Lina. Sementara Amina mengambil stroberi organik dari petani di Garut dan Bandung.

Mei bilang, untuk menghasilkan selai yang berkualitas, pastikan bahan baku yang digunakan juga segar. Saban bulan, ia butuh sekitar 100 kg–200 kg buah untuk membuat selai. “Bahan yang saya gunakan 90% masih fresh, baik bahan utama maupun campuran, sehingga kualitas, rasa dan tekstur jauh lebih kaya daripada selai pabrikan,” tandasnya.

Pastikan pemasok hanya mengirim buah berkualitas bagus dan konsisten dengan kualitas tersebut. Sebagai produsen, Lina dan Amina mengaku standarisasi rasa dan kualitas produk menjadi hal utama dalam pemilihan pemasok. Jangan sampai karena ingin bahan baku dengan harga miring, standardisasi itu dilanggar.


Lewat jalur reseller

Munculnya beragam produk konsumsi yang sehat sejalan dengan tren untuk hidup sehat. Inilah yang menginspirasi produk selai rumahan yang dibuat hanya dengan bahan-bahan alami, tanpa menggunakan zat aditif.

Kalalina, owner Lynelle Premium Homemade Jam, mengatakan, pasar untuk produk ini sangat luas. Selain menyasar pembeli eceran, Lina juga menawarkan produknya untuk keperluan event, baik ke personal maupun korporasi. Pada perayaan hari libur pun Lina menawarkan paket parsel alias hampers untuk produknya. “Biasanya menjelang Natal, Lebaran, dan tahun baru saya buka order untuk hampers bagi konsumen. Ini lumayan menambah omzet,” ungkap dia.

Sebagian pemesanan dilakukan secara langsung, baik melalui media sosial atau telepon. Di samping itu, Lina mengandalkan reseller atau agen untuk memasarkan produknya. Sejauh ini, Lina mengandalkan 12 reseller di Jabodetabek.

Produsen selai organik Alanna, Sheilli Amina Nagib, juga memasarkan produknya melalui jalurreseller. Bahkan, 60% pemasaran dilakukan melalui jalur tersebut. “Untuk reseller, saya tetapkan untuk memesan 20 botol selai tiap order, jadi saya bisa berikan potongan harga,” ucap Amina.

Bahkan pada 2015 ini, Amina mau menggenjot jumlah reseller-nya yang belum mencapai 10 orang itu. “Saya menargetkan omzet bertumbuh empat kali lipat, jadi sedang mencari reseller yang banyak untuk mewujudkan target itu,” ujarnya. Peluang untuk reseller, kata Amina, terbuka untuk pedagangonline maupun offline. Ibu rumahtangga pun bisa jadi reseller Alanna jika memang tertarik dengan produk selai organik ini.

Di samping itu, Amina berencana menambah varian baru selai Alanna. Kebanyakan konsumen meminta selai kacang dan selai cokelat. Dus, per Februari, Amina akan memiliki dua varian selai baru. “Untuk pasokan kacang organik, saya memberdayakan petani kacang di Bogor,” pungkas dia.

Sementara itu, Mei Suling, owner Oma Anna Homemade Jam, baru memiliki satu reseller. Ia menjual produknya via online melalui situs www.aogindonesia.com. Selain itu, mulai Februari ini, ia memasarkan selai Oma Anna setiap Minggu pagi di Sukajadi, Bandung. “Kami juga akan membuka toko fisik pada pertengahan Februari,” ungkap dia.

Read more...

Label

 
Wong Leces © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

Man Jadda Wajada. Siapa yang Bersungguh-sungguh Akan Berhasil