Banyak orang yang harus menjalani merasakan pahitnya kehidupan sebelum meraih kesuksesan. Salah satunya adalah Tri Sumono, pemilik CV 3 Jaya. Melalui perusahaan ini, Tri mengelola banyak lini usaha, mulai dari pengemasan minuman siap saji, toko sembako, pengadaan alat tulis kantor, sampai produksi minuman kesehatan.
Kalau mengenal Tri dua puluh tahun yang lalu, mungkin Anda takkan menyangka pria kelahiran Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, ini akan jadi pengusaha sukses. Saat itu, Tri yang baru menamatkan pendidikan SMA ikut pamannya hijrah ke Jakarta pada 1993.
Lantaran belum punya keterampilan khusus, Tri pun bekerja sebagai kuli bangunan. Namun pekerjaan berat itu hanya ia lakoni selama enam bulan. Lantas, dia melamar pekerjaan sebagai tukang sapu.
Di perusahaan itu, tiap tahun Tri berubah pekerjaan. Ia pernah jadi petugas kebersihan gedung, office boy, dan sales. Saat jadi karyawan, Tri mendapat gaji Rp 250.000 per bulan. Sementara itu, sewa kontrakannya Rp 200.000 per bulan. “Sisanya itu tak cukup untuk makan saya dan istri,” tuturnya.
Tri pun mulai berjualan apa pun. Produknya beragam dan biasanya merupakan barang teman. “Mereka yang punya barang, saya yang jual dan ambil untung sedikit,” ceritanya.
Tri mencoba lebih serius dalam berjualan. Pada akhir pekan, ia menggelar lapak di kawasan Senayan. Di situ, ia bersama sang istri, Sukamti, menjual aksesori perempuan. Tri bilang, ketika itu mereka berkomitmen untuk tak makan nasi sebelum omzet mencapai Rp 300.000 dalam sebulan.
Nah, pada suatu hari ketika berjualan, istrinya mau makan bubur. Karena belum mencapai target omzet, Tri tak mau menyanggupi permintaan istrinya hingga istrinya menangis. Kejadian itu memicunya bekerja keras mencari nafkah.
Peristiwa lain ialah ketika putri pertamanya berusia dua bulan. Anak yang diberi nama Dewi Puspita Sari itu divonis gizi buruk oleh dokter. “Dua peristiwa ini membuat saya sebagai kepala keluarga merasa tertampar dan sadar bahwa saya harus berjuang untuk kehidupan yang layak,” kisahnya.
Selanjutnya, Tri membeli sebuah kios di Mal Cijantung. Setelah jam kantor usai, ia membantu istrinya berjualan aksesori perempuan di situ sampai pukul 24.00. Usahanya berkembang cukup maju. hingga pada 1999, Tri menjual kios untuk membeli rumah di Bekasi.
Dengan modal Rp 1 juta, ia membuat warung sembako di rumahnya. Agar bisa lebih fokus berjualan, Tri mengundurkan diri dari pekerjaannya. Lalu, membangun kontrakan di samping rumahnya. Akan tetapi Tri tak sekadar mengontrakkan rumahnya. Ia memilih para pedagang kakilima sebagai pengisi kontrakannya supaya bisa menjadi konsumen warung.
Setelah itu, Tri mengakui bahwa mindset bisnisnya semakin kuat. Ia melihat peluang untuk memproduksi sari kelapa (nata de coco). “Dari usaha sari kelapa, tiap minggu saya bisa untung Rp 7 juta,” kata dia.
Seiring dengan banyaknya pengalaman, keberanian berbisnis menebal. Dia pun terpikir memulai bisnis baru. Dengan modal Rp 100.000, ia mencetak kartu nama dengan jabatan direktur untuk lima jenis usaha. “Saya sengaja bagikan ketika pameran untuk melihat respons pasar,” ucap dia.
Nah, setelah menyebar kartu nama, Tri paling banyak mendapat panggilan untuk usaha pengadaan alat tulis kantor (ATK). Dari strategi itu, ia memutuskan untuk menjalani usaha pengadaan ATK. “Justru gara-gara kartu nama itu, saya dihubungi perusahaan besar untuk menyediakan ATK di kantornya,” ujarnya. Hingga kini, CV 3 Jaya masih menerima order untuk pengadaan ATK.
Di sisi lainnya, usaha sari kelapa tak berjalan mulus. Ada klien yang mengadukan kualitas buruk produk pada Tri. Bukannya patah semangat, Tri malah berterimakasih pada sang klien. “Saya bersyukur karena itu jadi jalan untuk memperbaiki usaha,” cetus dia.
Nah, ungkapan terimakasih itu justru jadi penyelamat bisnis Tri. Oleh klien yang sama, Tri diajak untuk membuat perusahaan jasa pengemasan minuman. “Mereka yang memasok bahan bakunya, jadi saya diminta menyiapkan tempat saja,” katanya. Dari kontrak selama dua tahun dua bulan, Tri mendapat pemasukan Rp 2,2 miliar.
Kemudian, Tri malah kembali melihat peluang usaha baru, yakni membuat minuman kemasan. Begitu kontrak dengan mitranya selesai, Tri mulai memproduksi kopi jahe dan kopi susu dalam kemasan dengan merek Hootrii. Minuman ini dipasarkan ke Singapura, Malaysia, Kalimantan, Sumatra, dan Maluku. Tri bilang, dari produk ini, ia bisa meraup omzet Rp 400 juta per bulan.
Minuman kesehatan
Sukses memproduksi kopi dalam kemasan, Tri tergiur untuk mengembangkan lini bisnis satu ini. Dia memutar otak untuk menemukan produk baru. Idenya datang dari fenomena bahwa masyarakat kurang menyukai beras merah. Padahal, nilai gizi beras merah sangat tinggi. Lalu Tri mencari ide agar beras merah bisa disukai dan dinikmati gizinya.
Setelah berkonsultasi dengan beberapa pakar kesehatan, ia pun mencoba membuat sari beras merah. Ternyata produknya ini lolos uji. Dus, mulai 2012, ayah dua anak ini memproduksi sari beras merah dengan merek Hootrii.
Tri bilang, tiap menyesap sari beras merah dari kemasan 24 gram, konsumen mendapat manfaat satu kilogram beras merah. Produk ini cukup diterima masyarakat. Buktinya, penjualannya melambung. Bahkan, sari beras merah jadi andalan bisnis Tri.
Produk ini menyumbang pemasukan paling besar dibandingkan berbagai usaha pembuatan produk dan penyediaan jasa di bawah bendera CV 3 Jaya. Saban bulan, Tri bisa memproduksi 2.000 kotak–2.500 kotak sari beras merah. Dari bisnis ini, Tri mengantongi omzet Rp 900 juta per bulan.
Di masa mendatang, Tri mau meluncurkan produk minuman kesehatan baru yang terbuat dari brokoli. Menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun ini, ia tengah mencari mitra bisnis dari negara lain. “Bisnis lain CV 3 tetap berjalan, tetapi saya juga mau fokus mencari bahan baku untuk membuat minuman dengan nilai gizi tinggi,” ungkap dia.
Gemar berbagi kisah bisnis
Selama 2,5 tahun belakangan, Tri Sumono punya kesibukan baru. Sebagai pemilik CV 3 Jaya, ia mengurus berbagai jasa dan produk yang disediakan perusahaan. Di samping itu, ia tengah menikmati profesi baru sebagai motivator.
Tri mau berbagi pengalaman karena merasakan jatuh bangun dalam bisnis. “Itu yang menjadi kekuatan saya,” tandas pria kelahiran 7 Mei 1973 ini.
Setiap bulan, setidaknya, ia mengisi 10 acara seminar atau workshop soal bisnis. Biasanya, ia membagi inspirasi pada karyawan perusahaan swasta atau pemerintahan. Di samping berbagi pengalaman, Tri bilang, lantas sering bertemu orang baru, ia jadi punya banyak relasi untuk mengembangkan bisnisnya.
Kesibukan sebagai motivator membuat Tri harus sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Nah, kalau tidak sedang berada di tempat usahanya di Bekasi, Jawa Barat, Tri punya orang kepercayaan untuk mengawasi bisnis. Orang kepercayaan itu tak lain adalah istrinya, Sukamti.
Tri mengatakan, dulunya sang istri tak punya jiwa bisnis. Sukamti lebih senang mengurus kedua putri mereka di rumah daripada membantu suaminya berbisnis. Namun, Tri mengubah pemikiran istrinya itu.
Suatu hari, Sukamti minta dibelikan daster pada Tri. Lantas, bukannya memberikan satu, Tri malah memberikan selusin daster pada istrinya. “Saya bilang pada istri, simpan dua daster di lemari dan sisanya dijual. Kalau belum laku, daster yang ada di lemari belum boleh dipakai,” ujarnya.
Cara ini ternyata ampuh untuk membuat Sukamti juga tertarik berbisnis. Tri menambahkan, bisnisnya bisa berkembang pesat seperti sekarang juga lantaran didukung oleh istri. “Kalau istri tak mendukung bisnis, lebih baik berhenti karena kemungkinan besar bisnis akan gagal,” tegas Tri.