Thursday 30 April 2015

Mencetak Fulus dari Kemasan Makanan

0 comments
Seiring pesatnya pertumbuhan usaha kuliner, permintaan kemasan makanan terus mengalir. Prospeknya pun masih cerah pada tahun-tahun mendatang. Kalau tertarik, Anda kudu bermodal gede untuk membangun pabrik.

Kemasan menjadi unsur penting dalam sebuah produk. Pembungkus yang cantik dan unik, bisa mempengaruhi konsumen untuh menjatuhkan pilihan pada sebuah produk. Nilai jual pun bisa terdongkrak berkat kemasan.

Tak terkecuali pada produk kuliner. Bukan cuma sebagai pembungkus, kemasan bisa mengangkat citra sebuah produk kuliner. Sebab, pada kemasan, produsen bisa mencantumkan berbagai informasi, bahkan menjadi salah satu media promosi yang efektif.

Perkembangan usaha kuliner ikut membawa berkah bagi produsen kemasan, khususnya kemasan makanan. Apalagi, saat ini, makin banyak orang peduli akan gaya hidup sehat. Mereka pun menginginkan kemasan yang tak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Kemasan kertas pun banyak dipakai oleh pengusaha kuliner, terutama mereka yang menyajikan jenis masakan siap saji.

Melihat potensi yang cukup besar pada usaha ini, Stanliy Hardjo menerima ajakan menjadi produsen kemasan. Sebelumnya, pria 42 tahun ini memang bekerja di perusahaan percetakan yang memproduksi kemasan. "Setelah sang owner melihat kemampuan saya, dia menawari saya untuk membuka usaha sendiri dan mengizinkan saya untuk membawa klien di perusahaan lama," kenang Stanliy.

Pada tahun 2002, dia mulai merintis Sinar Rejeki Printing Jaya. Dengan modal order yang berasal dari klien di perusahaan lama, Stanly membangun pabrik di kawasan Dadap, Tangerang. "Tapi, saya merintis usaha ini dari kecil," terang dia.

Sinar Rejeki Printing memproduksi sejumlah kemasan. Selain kemasan untuk makanan, perusahan juga membuat kemasan untuk berbagai produk, seperti fashion. Namun, yang paling besar adalah kemasan untuk makanan. "Hampir 80% kemasan yang kami produksi merupakan kemasan untuk makanan," ujar Stanliy.

Kemasan untuk makanan sendiri tersedia dalam jenis food grade dan non food grade. Kemasan food grade biasanya disebut bila kertas bahan baku kemasan tersebut tidak tembus air maupun minyak. "Karton putih dan ivory sudah bisa disebut food grade," jelas dia. Namun, biasanya, konsumen masih menginginkan pelapis lain sehingga makanan yang disimpan dalam kemasan tak rusak atau kemasan tak bocor.

Contoh kemasan makanan yang non food grade karton karton putih dengan warna abu-abu di baliknya. Oleh karena itu, biasanya, pengusaha kuliner yang menggunakan kemasan non food grade ini akan menambahkan kertas, daun atau plastik, sebelum mewadahi makanannya. "Kemasan seperti ini banyak dipakai untuk martabak," kata Stanliy.

Tentu saja, harga kemasan food grade lebih mahal. Stanliy menyebut harga kemasan jenis ini lebih mahal sekitar 30%. Meski begitu, para pelaku usaha kuliner cenderung menyukai jenis food grade.

Dalam sebulan, Sinar Rejeki Printing bisa memproduksi puluhan ribu hingga ratusan ribu lembar kemasan. Harga jual rata-rata kemasan tersebut berkisar Rp 1.000. "Tergantung ukuran, jumlah order, dan ketebalan kertas," kata Stanliy. Dia pernah menerima pesanan dengan harga Rp 25.000 per piece lantaran ukurannya besar.

Dia yakin prospek bisnis kemasan masih cerah, karena dunia kuliner terus berkembang. Saban tahun, order yang datang ke Sinar Rejeki Printing pun terus bertambah. Kini Stanliy mempekerjakan sekitar 30 orang di pabriknya.

Bukan cuma dari Jakarta, order yang datang ke Sinar Rejeki Printing juga datang dari luar Jawa, seperti Pontianak, Manado, dan berbagai kota besar lainnya. "Padahal, saya tak pernah promosi," ujar Stanliy.

Permintaan kemasan yang terus meningkat juga dirasakan Rico Arizona, pemilik Riscopack. Malah, menurut dia, order kemasan makanan sudah menanjak sejak 1989. Bahkan, dia pernah mengecap angka pertumbuhan mencapai 40% per tahun. "Usaha ini tak pernah mati selama masih ada produk yang harus dikemas," ujar Rico.

Sama seperti Sinar Rejeki Printing, Riscopack yang berbasis di Surabaya tidak cuma melayani pemesanan kemasan makanan, tetapi juga kemasan lain. Namun order terbesar Riscopack saat ini datang dari pebisnis kuliner. "Komposisi produksi kami, 80% untuk kemasan makanan, 20% untuk kemasan lain," ujar Rico. Dia menjual kemasan mulai dari harga Rp 400 hingga Rp 6.000 per lembar. Kapasitas produksi percetakan ini mencapai puluhan ribu per bulan.

Kunci sukses bukan cuma modal

Untuk terjun di usaha ini, bukan cuma modal duit yang diperlukan. Stanliy menuturkan, calon pengusaha harus benar-benar memiliki pemahaman soal bisnis percetakan, kemasan, serta target pasar yang akan dibidik.

Segendang sepenarian, Risco pun memberi syarat bagi pengusaha yang ingin terjun dalam usaha ini harus paham bisnis kemasan. Sebab, layaknya bisnis percetakan, volume memegang peran penting dalam bisnis ini. Dia menyarankan, agar pengusaha menjaring calon pelanggan terlebih dahulu, sebelum fokus ke usaha pembuatan kemasan makanan.

Modal order pula yang menjadi kekuatan Stanliy ketika membangun bisnis kemasan makanan 12 tahun silam. Dalam bisnisnya, Stanliy memilah order menjadi dua jenis. Yakni, order berdasarkan kontrak dan order biasa.

Untuk order yang bersifat kontrak, dia menetapkan masa kontrak minimal selama enam bulan. Stanliy pun akan menyediakan stok kemasan minimal untuk kebutuhan satu bulan di gudangnya.

Adapun order di luar kontrak, dia tetapkan dengan ketentuan minimal order sebanyak 5.000 pieces. Pada order jenis ini, dia tetap menyediakan stok tapi dengan jumlah yang terbatas.

Selain order, modal lain adalah kepercayaan. "Terutama kepercayaan dari pabrik kertas," kata Stanliy. Maklum, kertas yang menjadi bahan baku utama usaha ini menyedot biaya yang besar.

Sejatinya, untuk memulai tidak harus bermodal dana besar atau bahkan tanpa modal. Sebab, untuk menjaring konsumen, Anda bisa mencari rekanan percetakan. Stanliy sendiri menawarkan kesempatan bagi calon pengusaha yang ingin terjun ke bisnis kemasan dengan bergabung di perusahaannya. "Mereka bisa ikut menanam modal ke Sinar Printing sambil belajar soal bisnis dan produksi," kata dia.

Maklum, usaha pembuatan kemasan makanan ini juga memasang syarat pemahaman tentang produksi. Pada proses ini, kunci yang harus dikuasai adalah pengetahuan tentang mesin cetak. Asal tahu saja, bagian terbesar modal akan tersedot untuk pengadaan mesin.

Nah, ada tiga jenis mesin yang mutlak ada untuk membuat kemasan makanan. Masing-masing adalah mesin cetak, mesin pemotong, dan mesin lem. Untuk ketiga jenis mesin itu, Anda mempunyai dua pilihan: menggunakan mesin baru atau mesin bekas.

Stanliy menyebut harga mesin ini lumayan mahal. "Harga sebuah mesin cetak baru buatan Jerman bisa mencapai Rp 3 miliar," ujar dia. Sinar Rejeki menggunakan mesin-mesin ini karena kualitasnya benar-benar teruji.

Mesin sejenis yang dibuat di China harganya berkisar Rp 800 juta. Harga mesin lem buatan China berkisar Rp 600 juta–Rp 700 juta. Sedang harga mesin potong buatan China berkisar Rp 50 juta–Rp 60 juta.

Namun jika modal Anda terbatas, mesin bekas bisa jadi pilihan. Rico menuturkan, harga mesin cetak bekas buatan Jepang sekitar Rp 180 juta, harga mesin potong bekas buatan China berkisar Rp 30 juta, mesin pond bekas ukuran double folio buatan China adalah
Rp 25 juta dan alat pembuatan pisau pond Rp 33 juta.

Baik Rico maupun Stanliy menyarankan agar Anda memilih mesin buatan Jerman, atau setidaknya Jepang untuk mesin cetak. Sedang untuk mesin potong dan mesin lem dapat menggunakan mesin buatan China yang harganya lebih miring. Pilihnya mesin yang memiliki garansi perawatan, paling tidak selama 4 tahun.

Rico menuturkan pengalaman saat memulai Riscopack 1989 silam. "Kami hanya membeli mesin cetak ukuran folio buatan Klaten, Jawa Tengah di pasar loak, sedikit diperbaiki sehingga bisa dipakai dengan baik," kata Rico.

Bisa didatangi truk kontainer

Setelah urusan mesin kelar, agenda produksi berikut yang perlu dituntaskan pemain baru di bisnis ini adalah menyiapkan stok kertas. Penyediaan urusan ini, idealnya, dilakukan bersamaan dengan pencarian order. Menurut Risco, usaha kemasan tidak memliki kendala berarti dalam proses produksi. Tetapi, pemasaran memegang peran yang sangat penting demi kelangsungan usaha ini.

Stanliy menuturkan, kertas bahan baku kemasan mudah diperoleh dari pabrik-pabrik kertas di Indonesia. Biasanya, kertas ini dijual dalam bentuk lembaran yang sudah dipotong dalam ukuran tertentu. "Jadi, Anda bisa menyesuaikan dengan ukuran yang diinginkan," kata Stanliy. Harga kertas berkisar Rp 11.000-Rp 15.000 per kilogram. satuan kilogram.

Berkaitan dengan stok kertas ini, Anda juga harus mempertimbangkan lokasi pabrik. Stanliy bilang, pabrik sebaiknya berada di tepi jalan besar. Sebab, stok kertas ini biasanya datang langsung dalam jumlah besar. "Bisa truk-truk kontainer yang mengantar kertas ini. Jadi, jalan menuju pabrik sebaiknya bisa dilalui oleh truk besar," imbuh dia.

Setelah mengetahui perkiraan order, dan tentunya, estimasi bahan yang dibutuhkan, rancanglah secara cermat stok kertas yang perlu dibeli. Perhitungan cermat ini perlu karena bahan kemasan food grade tidak bisa dibeli dalam jumlah sedikit.

Ingat pula, Stanliy bilang,
bahan baku kertas setidaknya menyedot 70% dari harga kemasan. Sisanya, merupakan biaya untuk pembelian tinta, tenaga kerja dan operasional lainnya.

Oh, iya, sebaiknya Anda juga menguasai soal desain kemasan. Sebab, adakalanya konsumen akan meminta bantuan jasa desain kemasan karena kesibukan mereka.

Tertarik mencoba?

Leave a Reply

Label

 
Wong Leces © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

Man Jadda Wajada. Siapa yang Bersungguh-sungguh Akan Berhasil