Bulan ini adalah bulan yang spesial bagi Reny Feby. Pada Februari itu, tepatnya 25 Februari 2014, pemilik usaha Reny Feby Jewelry ini merayakan ulang tahunnya yang ke-41 tahun. Pada tanggal itu pula, dia akan menggelar "Event Budaya Betawi" sebagai peringatan satu tahun dibukanya Pendhapa Pusthika. Ini adalah sebuah galeri perhiasan yang memamerkan dan menjual beragam perhiasan karya Reny Feby di kawasan Jakarta Selatan.
Pendhapa Pusthika seperti monumen kesuksesan Reny dalam berbisnis perhiasan sejak tahun 1998. Dengan modal nol dan pengetahuan minim mengenai seluk-beluk perhiasan, ibu tiga anak ini tak pernah menyerah mengayuh biduk usahanya. Kini, setelah 15 tahun, usahanya berkibar tinggi. Pendhapa dan sebuah gerai Reny Feby Jewelry di Alun-Alun Grand Indonesia, Jakarta, tak pernah sepi dari pengunjung yang ingin membeli atau memesan produk perhiasan bermerek Reny Feby.
Pelanggannya dari beragam kalangan. Mulai dari kelompok arisan, wanita karier, pengusaha, artis, kaum sosialita hingga ibu-ibu pejabat di negara ini. Bahkan, pembelinya meluas sampai ke negeri jiran. Sayangnya, Reny enggan menyebut pendapatan atau omzetnya. Sebagai gambaran, pada awal tahun 2000-an, dia pernah mengantongi duit Rp 160 juta sehari dari berjualan perhiasan. Bagaimana sekarang? "Ya, cukuplah," kata Reny sembari tertawa kecil kepada wartawan KONTAN, Yura Syahrul, awal Januari lalu. Berikut nukilan wawancaranya.
KONTAN: Mengapa memutuskan menjadi seorang wirausahawati ketimbang karyawan atau ibu rumah tangga?
RENY: Bapak saya adalah seorang pengusaha. Jadi, sejak kecil saya sudah dilatih mempunyai mental yang kuat dalam berusaha. Saat SD saya sudah membantu orangtua untuk berjualan celana jins. Kegiatan itu terus berlanjut hingga SMA. Saat kuliah di Fakultas Hukum, saya tak cuma berjualan jins tapi juga bisnis parsel. Jadi, kala itu, mobil saya itu berisi barang dagangan semua.
Meski saya selalu berbisnis sejak sekolah, bukan berarti usahanya selalu lancar dan selalu untung. Saya juga beberapa kali ditipu oleh pelanggan. Tapi, dari kejadian itu saya selalu mendapat pengalaman untuk bangkit. Hal itu juga berkat bimbingan ayah saya. Makanya, sejak kecil saya memang sudah memutuskan untuk memiliki bisnis sendiri.
KONTAN: Bagaimana Anda mengawali bisnis perhiasan?
RENY: Tahun 1998, setelah lulus kuliah, kakak meminta saya untuk membantunya berjualan perhiasan. Padahal, saya sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang perhiasan. Modal saya cuma kemauan keras untuk menjual perhiasan itu. Pertama kali saya berjualan door-to-door. Banyak yang menolak. Bahkan, saya sering dicaci-maki calon pembeli.
Tapi, target saya, yang penting setiap hari bisa ketemu satu orang. Tidak masalah kalau orang itu menolak membelinya. Pokoknya saya berusaha mempromosikannya.
KONTAN: Lantas, bagaimana Anda mengembangkan usaha tersebut?
RENY: Saya berusaha menciptakan market sendiri. Berdasarkan daftar calon pelanggan yang saya peroleh ketika ikut bisnis multi level marketing (MLM), saya mendatangi komunitas ibu-ibu di Pondok Indah atau perkumpulan arisan. Pembeli pertama perhiasan saya adalah istri seorang komedian terkenal. Setelah itu, pembelinya semakin banyak. Saya pernah berhasil menjual 40 cincin senilai Rp 160 juta sehari.
Tahun 2000, saya memutuskan membuat sendiri perhiasan. Saya mulai belajar sendiri untuk mendesain perhiasan, seperti membaca majalah-majalah dari luar negeri untuk mengetahui tren yang sedang berkembang. Tahun 2002, saya mendatangi "Hong Kong International Jewelry" untuk menyerap ilmu dari para peserta yang hadir. Saya juga dapat bimbingan dari pemerintah Belanda mengenai cara membuat perhiasan yang berstandar mutu internasional.
KONTAN: Menurut Anda, apa kunci kesuksesan sehingga bisa membesarkan usaha?
RENY: Saya mengawali usaha ini tanpa modal sama sekali. Saya cuma menyadari bahwa bisnis perhiasan itu adalah bisnis kepercayaan di antara menjual keindahan dan kepuasan. Karena itu, saya berusaha meraih kepercayaan pelanggan. Tak cuma itu, saya berusaha menjaga amanah pelanggan, stakeholder dan para supplier.
Setelah itu, harus fokus mengembangkan usaha. Kalau berkecimpung di bisnis perhiasan, orang akan ragu kalau kita tidak konsisten. Jadi yang terpenting dalam membangun usaha bukan modal, ide brilian, minat atau menguasai pasar.
KONTAN: Bagaimana Anda menentukan tahapan dalam pengembangan usaha?
RENY: Let it flow, mengalir saja sesuai perkembangan bisnisnya. Ketika tidak punya modal, saya pinjam barang dari orang lain. Saat butuh barang lebih banyak, saya cari pemasok. Saya melakukan itu semua, seperti hamster. Jadi saya tahu semua aspek dari bisnis ini.
Belakangan, saya mengekspor produk perhiasan ini ke luar negeri, seperti Malaysia dan Jepang, karena besarnya permintaan. Ternyata potensi batu-batuan perhiasan di negara itu sangat besar.
KONTAN: Apa pertimbangan membuat label sendiri?
RENY: Menurut saya, branding sangat penting karena sekaligus mengiklankan nama dan hasil desain saya. Branding juga perlu untuk pasar high end, seperti target pasar produk saya. Apalagi, belakangan, orang-orang kaya justru bangga menggunakan produk dan label dalam negeri sendiri.
Awal 2013 saya juga mendirikan Pendhapa Pusthika. Impian saya sejak 10 tahun lalu, tempat ini bukan sekadar galeri perhiasan tapi tempat untuk sosialisasi perhiasan dan mengedukasi tentang desain perhiasan.
KONTAN: Apa Anda tak khawatir banyak kompetitor?
RENY: Saya tidak takut. Justru dengan berbagi ilmu maka bisnis ini akan semakin tumbuh. Apalagi, dalam industri kreatif, kreator itu selalu di atas sedangkan pengekor di bawah. Makanya, harus selalu kreatif!