Terjun ke dunia bisnis, bagi Hartati Hartono, merupakan suatu ketidaksengajaan. Dia terpaksa menjalankan usaha boneka, yang awalnya dirintis oleh sang ayah. Namun, perempuan 47 tahun ini berhasil membuktikan kepiawaian dan keuletannya berbisnis. Menggeluti bisnis boneka selama 21 tahun, kini dia memproduksi 900.000 boneka per tahun di bawah kibaran bendera PT Royal Puspita.
Perempuan kelahiran Semarang, 16 Juli 1967, ini tak pernah bercita-cita menjadi pengusaha. Tak heran, ketika lulus SMA, alih-alih mengambil jurusan ekonomi atau bisnis, Hartati memilih studi Sastra Asia Timur di Toronto, Kanada, karena ingin mendalami sejarah dan budaya di kawasan Asia Timur.
Bersamaan ketika ia lulus kuliah, pada 1991, sang ayah diajak teman lamanya, merintis bisnis boneka. Diiming-imingi kebutuhan modal yang tak besar, ayah Hartati pun menerima tawaran bisnis tersebut. Apalagi, bisnis boneka sedang booming kala itu.
Ketika ayahnya mengadakan pelatihan untuk karyawannya, Hartati ikut serta. “Bukan karena niat bekerja dengan ayah, saya ikut pelatihan selama empat bulan, melainkan karena penasaran dengan cara memproduksi boneka,” jelas dia.
Namun, ketika usaha boneka baru mau berjalan, orang-orang yang direkrut sang ayah malah hengkang. Termasuk, orang yang menjadi kandidat pemimpin perusahaan. Di sini terbuka pikiran Hartati untuk membantu sang ayah. Maklum, perusahaan masih benar-benar baru, sementara pabrik sudah siap. “Saat itu, niat saya hanya membalas budi ke ayah yang sudah menyekolahkan saya jauh-jauh,” ujar Hartati yang saat itu baru berumur 24 tahun.
Hartati pun duduk menjadi pengendali perusahaan, menggantikan ayahnya, yang melanjutkan bisnis lamanya. Meski pabriknya sudah terbangun sejak 1991, PT Royal Puspita baru memproduksi boneka pada 1993. Dengan 50 mesin jahit, Hartati mempekerjakan sekitar 150 karyawan.
Harus Pegang Lisensi
Untuk memasarkan bonekanya, Hartati menjalin kerja sama dengan perusahaan asal Korea Selatan yang bertindak sebagai agen penjual. “Buyer mengorder boneka ke agen di Korea Selatan, tapi kami yang memproduksi di Indonesia dan mengirimkannya ke luar negeri,” kata dia. Berbagai produk boneka Royal Puspita pun diekspor ke berbagai negara, terutama Amerika Serikat (AS).
Sayang, ketika roda bisnis berjalan dengan baik selama lima tahun, krisis moneter yang mendera Indonesia ikut berimbas pada Royal Puspita. Pasalnya, Indonesia dimasukkan dalam kategori war zone. Karena dianggap tidak aman, kargo dari sini ke Amerika Serikat (AS) dan Eropa dikenakan biaya tambahan US$ 1.000. Bagi Royal Puspita, surcharge itu berarti kenaikan biaya pengiriman hingga 25%.
Banyak klien dari AS dan Eropa pun mengurungkan niat mengorder boneka dari Indonesia. Hartati harus rela mengurangi karyawan hingga 50%. “Tidak ada yang dikerjakan,” ujar dia.
Hartati pun segera memutar otak supaya roda perusahaan terus berjalan. Dia melirik bisnis lisensi dari perusahaan besar di AS, yakni Disney. “Supaya gampang dalam pemasaran, produsen harus pegang lisensi merek internasional,” tutur dia.
Tak hanya lisensi, Hartati juga mengembangkan produk. Pabriknya tidak lagi membatasi diri sebagai pembuat boneka karena pesanan boneka sudah sangat sedikit. Hartati menjatuhkan pilihan pada produk tas boneka yang kebetulan sedang tren di AS pada waktu itu. Produk ini memang jarang dikerjakan oleh produsen boneka. Di lain pihak, produsen tas tidak mau menerima orderan tas boneka, karena kesulitan untuk membikin modelnya.
Peluang ini tidak disia-siakan Hartati. Apalagi, saat itu, China terkena pembatasan pengiriman tas boneka ke AS dan Eropa. Alhasil, “Dari tas boneka, Royal Puspita survive di saat sekarat,” tutur ibu tiga anak ini.
Namun, diakui Hartati, perjuangan mendapatkan lisensi tidak mudah. Sebagai produsen boneka, Royal Puspita harus bersedia diaudit habis-habisan. Dia juga harus melakukan berbagai perbaikan agar pabriknya memiliki standar mutu yang diinginkan pemilik lisensi.
Dari bahan, tenaga kerja, operasional pabrik dan hal-hal kecil lain, harus sesuai dengan standar dan aturan. Ambil contoh, toilet. Satu toilet hanya boleh digunakan untuk 16 orang.
Untuk memenuhi standar itu, dia harus menambah toilet di pabriknya. “Hal-hal kecil juga harus diperhatikan, makanya tidak banyak pabrik boneka yang sanggup,” kisah dia.
Kelihaian berbisnis Hartati kembali diuji ketika pembatasan kuota tas boneka China dicabut pada 2001. Dia harus menggali peluang yang ada, setelah tas boneka China kembali merajai pasar. Dia pun beralih ke kostum tokoh kartun. Supaya dapat lisensi, Royal Puspita lagi-lagi harus lulus audit. Meski berat, toh, perjuangan Hartati berbuah manis. Produk kostum ini mencatatkan pendapatan US$ 2 juta selama setahun.
Setelah melewati berbagai rintangan, Hartati menyadari untuk bertahan di bisnis boneka, ia harus bersaing di level atas dengan memegang lisensi. Apalagi, Di China, tidak banyak perusahaan punya standar klasifikasi seperti perusahaan berlisensi. “Itu juga mempersempit persaingan,” kata dia.
Kini, produk Royal Puspita kini laris manis di pasar mancanegara. Selain AS dan beberapa negara di Eropa, ia juga mengekspor produknya ke Jepang. Hartati bilang, 50% di antaranya merupakan produk lisensi, seperti Disney, Spongebob, San Rio, Sesame Street, Nickelodeon, Cartoon Network, dan Shaun the Sheep.
Berbagai boneka yang dijual Royal Puspita dibanderol dengan kisaran harga US$ 1–US$ 30 per item. Dari bisnis ini, perusahaannya mengantongi omzet berkisar US$ 6 juta–US$ 7 juta per tahun.
Merangsek Pasar Lokal
Belasan tahun memasok boneka ke mancanegara, ternyata, tidak membuat Hartati Hartono puas. Bersama sang suami, Sudarman Widjaja, Hartati berharap bisa membesarkan perusahaannya dan tetap bergelut di bisnis boneka.
Di masa mendatang, dia berharap PT Royal Puspita bakal memproduksi boneka untuk kebutuhan pasar lokal. Hartati mengidamkan orang Indonesia bisa bermain boneka berkualitas yang bagus dan aman.
Selama dua tahun ini, Royal Puspita mulai menjajaki pasar lokal. Lewat pemasaran mulut- ke mulut, ia kerap mendapat order dari sejumlah bank untuk menyediakan boneka sebagaipromotion gift. Pesanan dari bank itu mencapai 15% produksi Royal Puspita.
Namun, setahun belakangan tidak banyak lagi bank mengadakan program hadiah boneka. Alhasil, produksi boneka untuk pasar lokal turun menjadi hanya 10%.
Ini jadi tantangan tersendiri bagi Hartati. Menurut dia, masyarakat Indonesia masih memandang sebelah mata produk buatan lokal. Apalagi jika banderol harganya mahal. “Mungkin dipikir, buat apa bayar mahal-mahal hanya untuk beli boneka,” kata dia.
Hartati menjelaskan, produknya memang tergolong mahal karena sudah berkali-kali dites dan mendapat sertifikat internasional. Sementara itu, untuk melewati satu tes saja, ia harus membayar sekitar US$ 2.000. Namun, tes itu harus dilalui supaya produknya terbukti aman bagi anak-anak.
Pasalnya, sekarang ini banyak sekali mainan boneka yang tidak memenuhi standar. “Boneka saya kalau dicuci tidak gampang luntur, bahkan kalau mau diemut sama bayi pun tetap aman, tidak mengakibatkan kanker,” ucap dia berpromosi.
Hartati menambahkan, kebanyakan produsen menurunkan standar ketika menjual produknya untuk pasar lokal. Namun ia tidak mau begitu. “Kami bekerja dari hati, jadi rasanya tidak tega menjual barang dengan kualitas jelek sementara kami sudah tahu standarnya seperti apa,” ungkap dia.