Wednesday, 7 May 2014

Berbisnis Bukan Cuma Mendongkrak Omzet

0 comments
Menjadi pengusaha boleh jadi merupakan mimpi sebagian besar orang saat ini. Pengusaha bisa mengelola usaha secara mandiri dengan jam kerja yang fleksibel. Kesempatan untuk mengeksplorasi bisnis hingga bernilai maksimal juga terbuka luas. Bandingkan dengan nasib karyawan perusahaan yang dibatasi oleh hierarki jabatan dan jenjang karier.

Namun, di balik segala keistimewaan, tersimpan banyak tantangan yang menghadang para pengusaha. Salah satu yang sering menjadi permasalahan, terutama di kalangan para pemula, adalah pengaturan keuangan.

Sering sekali pengusaha dengan omzet yang mulai menanjak tiba-tiba kelabakan karena tidak mencatat keuangan secara tertib. Itulah pengalaman Reza Andriadi, pemilik sebuah usaha penerbitan di Jakarta Selatan. Pada awal merintis usaha dulu, Reza mencampur aduk keuangan bisnis dan pribadi. Masalah muncul saat Reza harus mengurus perpajakan. “Pusing karena pencatatan aset dan utang selama ini telanjur nyampur,” cerita dia.

Membereskan soal itu ternyata cukup menguras tenaga. Prospek usahanya juga terancam. Sebab, tanpa menyelesaikan urusan pajak dia bisa mengikuti tender proyek penerbitan sebuah instansi pemerintah. Runyam, bukan?

Pentingnya memiliki pembukuan keuangan usaha yang tertib juga muncul dari pengalaman Rochadi Ariawan, pemilik Klinik Gigi Dentaris di Jakarta. Sebenarnya dia telah memisahkan rekening pribadi dan bisnis. Meski begitu, tetap saja dia tersandung masalah ketika usaha yang dia rintis sempat kekurangan modal. “Saya tidak memiliki dana cadangan untuk usaha, sehingga terpaksa membobol tabungan pribadi dan berutang ke saudara,” cerita dia.

Antisipasi Masalah

Cerita serupa juga dikisahkan oleh Alpha Satriakusuma, pemilik usaha konstruksi Prajja Indonesia. Kendati cukup rajin mencatat arus kas usaha, rupanya Alpha tidak menyisihkan sebagian pendapatan usahanya untuk cadangan biaya operasional. Ujung-ujungnya, ketika terdesak kebutuhan dana tambahan untuk operasional, Alpha terpaksa menambalnya dengan berutang ke kerabat.

Mencari tambahan sumber dana untuk mendukung masalah permodalan, merupakan hal wajar dalam bisnis. Justru para usahawan yang berhasil kebanyakan menemui puncak kesuksesan lewat dukungan permodalan besar dari bank.

Namun, akan menjadi hal yang kurang sedap ketika kendala bisnis yang Anda hadapi mengemuka hanya karena hal yang cenderung “sepele”. Misalnya, akibat kemalasan Anda menertibkan keuangan bisnis.

Mencampur rekening usaha dengan rekening pribadi, tidak tertib mencatat arus keluar masuk dana, nilai aset bisnis tidak terdokumentasi dengan lengkap, bisa menjadi penyebab ketersendatan usaha Anda.

Lantas, bagaimana cara mengatur keuangan yang tepat bagi para pebisnis agar kantong pribadi aman dan usaha lancar? Simak strategi yang dibagi oleh perencana keuangan berikut:

Pisahkan Rekening

Memisahkan rekening pribadi dengan rekening bisnis wajib dilakukan oleh pengusaha level apa pun. Selain terlihat lebih profesional, dengan rekening yang berbeda, Anda bisa mudah melacak arus keluar masuk dana di bisnis Anda. “Manfaatkan produk tabungan khusus pebisnis yang banyak tersedia di perbankan,” kata Farah Dini, perencana keuangan Janus Consulting.

Beberapa produk rekening bisnis di perbankan sudah dilengkapi fitur pendukung pengorganisasian keuangan pebisnis. Semua transaksi perbankan secara otomatis tercatat dengan rapi. Kita bisa melacak arus keluar masuk dana berikut sumber dan tujuan masing-masing, hingga beberapa periode ke belakang.

Oh, iya, pemisahan rekening juga berarti memisahkan pula penggunaan kartu kredit pribadi dengan kartu kredit untuk keperluan bisnis.

Tertib administrasi akan memudahkan Anda memantau kondisi kesehatan keuangan bisnis. Kita bisa tahu arus kas yang sebenarnya, daya tahun likuiditas, nilai aset, tingkat penjualan, hingga laba atau kerugian usaha secara tepat.

Dengan begitu, Anda bisa lebih sigap menentukan langkah pengembangan bisnis karena memiliki bahan untuk menimbang kondisi keuangan perusahaan. Anda juga bisa lebih cepat mengantisipasi manakala di tengah jalan usaha menemui kesulitan keuangan.

Ini telah dipraktikkan oleh Rochadi. Pencatatan tetek bengek keuangan yang terkait bisnis terbukti membantu Rochadi mengetahui pos-pos mana yang bisa dia hemat dan pos mana yang berpotensi menggelembungkan biaya. Dengan mengetahui kondisi keuangan, dia bisa mengambil langkah konkret supaya kondisi usaha kian baik.

Sebagai contoh, dia bisa melakukan efisiensi pengeluaran melalui penekanan pungutan liar hingga pemilihan peralatan pendukung usaha yang lebih berkualitas supaya lebih awet. “Cara ini terbukti ampuh mengatasi masalah keuangan usaha tanpa perlu berimbas pada keuangan pribadi,” ujar dia.

Susun Direktori

Pada dasarnya, pengaturan keuangan bisnis tidak berbeda dengan keuangan pribadi. Anda tetap harus menyiapkan dana darurat, biaya operasional, proteksi, juga pos investasi, dalam perencanaan keuangan bisnis.

Yang sedikit berbeda adalah jenis pos-pos kebutuhan. Dalam keuangan bisnis, mungkin ada pos biaya pembayaran pemasok, biaya penjualan, pendapatan usaha, pos gaji karyawan. Juga, kewajiban usaha berupa cicilan bank, dan sebagainya.

Adapun penyediaan dana darurat kegiatan bisnis bisa Anda sisihkan dari pendapatan usaha per bulan. Untuk dana darurat, Freddy Pileoor, perencana keuangan MoneynLove Financial Planning and Consulting. bilang, idealnya sebesar dua kali sampai tiga kali lipat biaya operasional bisnis. Besar dana cadangan bisa berbeda-beda tergantung pada sektor usaha.

Sejalan dengan saran itu, Rochadi biasa menyisihkan dana cadangan sebesar enam kali pengeluaran bulanan. “Saya selalu mencadangkan sekitar 10% sampai 20% dari pendapatan,” imbuh Alpha.

Lain lagi soal investasi usaha. Dalam penataan keuangan pribadi, tujuan investasi adalah mencapai tujuan tertentu, seperti mengumpulkan dana pendidikan atau dana pensiun. Pada keuangan bisnis pos investasi diarahkan untuk mendukung pengembangan bisnis. “Misalnya, untuk pos ekspansi usaha isinya pembelian mesin baru,” kata Dini.

Bikin proyeksi

Keuangan bisnis tak cuma membutuhkan tertib administrasi. Supaya pengelolaan keuangan juga tepat, para perencana keuangan menyarankan agar Anda juga membuat proyeksi anggaran bulanan dan tahunan. “Hitung pengeluaran dalam enam bulan, setahun hingga 3 tahun ke depan,” saran Freddy lagi,

Dia menjelaskan, langkah ini akan membantu Anda mengukur kemampuan kas usaha dalam mendanai biaya operasional dalam jangka pendek dan menengah. Asumsikan pula pendapatan usaha per bulan atau kinerja penjualan.

Dengan memiliki proyeksi anggaran bulanan, Anda bisa terbantu berdisiplin memakai dana di kas usaha. Tanpa batasan anggaran, hal itu sulit diwujudkan. Selain itu, sebagai pengusaha Anda lebih siap mengantisipasi kondisi keuangan bisnis tanpa khawatir imbasnya bagi keuangan pribadi.

Manajemen Laba

Hal paling mengasyikkan menjadi seorang pengusaha atau wirausahawan adalah potensi pendapatan yang tak terbatas. Kendati untuk mencapai itu semua, upaya serta risiko yang harus Anda tanggung juga sepadan.

Nah, setelah bisa disiplin menerapkan tertib administrasi keuangan, penting juga bagi Anda menjalankan manajemen laba yang tepat. Pengalaman Alpha menunjukkan, manajemen laba yang kurang tepat berisiko menggoyang bisnis. Akibat memperlakukan keuntungan usaha sekadar sebagai dana kas, dia sempat kelabakan mencari tambahan modal saat kondisi kas mendadak tiris.

Oleh sebab itu, dari setiap keuntungan yang Anda peroleh, silakan bagi ke dalam pos-pos lagi. “Setelah dipotong seluruh biaya, sebagian keuntungan bisa menjadi gaji Anda dan sisanya bisa diinvestasikan lagi untuk bisnis,” ujar Dini.

Selamat, kalau selama ini sudah rapi menata keuangan usaha dan pribadi. Sebuah kendala perjalanan bisnis sudah mampu Anda taklukkan.

Sebaliknya, jika tata keuangan Anda masih gaya warung rokok pinggir jalan seadanya, sebaiknya segera berbenah. Tak kurang contoh, pengusaha sukses jatuh bangkrut gara-gara tak rapi menata keuangan mereka.

Tentu Anda tidak ingin seperti mereka, bukan?

Read more...

Modal Usaha Reny Feby, Kepercayaan Konsumen

0 comments
Bulan ini adalah bulan yang spesial bagi Reny Feby. Pada Februari itu, tepatnya 25 Februari 2014, pemilik usaha Reny Feby Jewelry ini merayakan ulang tahunnya yang ke-41 tahun. Pada tanggal itu pula, dia akan menggelar "Event Budaya Betawi" sebagai peringatan satu tahun dibukanya Pendhapa Pusthika. Ini adalah sebuah galeri perhiasan yang memamerkan dan menjual beragam perhiasan karya Reny Feby di kawasan Jakarta Selatan.

Pendhapa Pusthika seperti monumen kesuksesan Reny dalam berbisnis perhiasan sejak tahun 1998. Dengan modal nol dan pengetahuan minim mengenai seluk-beluk perhiasan, ibu tiga anak ini tak pernah menyerah mengayuh biduk usahanya. Kini, setelah 15 tahun, usahanya berkibar tinggi. Pendhapa dan sebuah gerai Reny Feby Jewelry di Alun-Alun Grand Indonesia, Jakarta, tak pernah sepi dari pengunjung yang ingin membeli atau memesan produk perhiasan bermerek Reny Feby.

Pelanggannya dari beragam kalangan. Mulai dari kelompok arisan, wanita karier, pengusaha, artis, kaum sosialita hingga ibu-ibu pejabat di negara ini. Bahkan, pembelinya meluas sampai ke negeri jiran. Sayangnya, Reny enggan menyebut pendapatan atau omzetnya. Sebagai gambaran, pada awal tahun 2000-an, dia pernah mengantongi duit Rp 160 juta sehari dari berjualan perhiasan. Bagaimana sekarang? "Ya, cukuplah," kata Reny sembari tertawa kecil kepada wartawan KONTAN, Yura Syahrul, awal Januari lalu. Berikut nukilan wawancaranya.

KONTANMengapa memutuskan menjadi seorang wirausahawati ketimbang karyawan atau ibu rumah tangga?
RENY: Bapak saya adalah seorang pengusaha. Jadi, sejak kecil saya sudah dilatih mempunyai mental yang kuat dalam berusaha. Saat SD saya sudah membantu orangtua untuk berjualan celana jins. Kegiatan itu terus berlanjut hingga SMA. Saat kuliah di Fakultas Hukum, saya tak cuma berjualan jins tapi juga bisnis parsel. Jadi, kala itu, mobil saya itu berisi barang dagangan semua.

Meski saya selalu berbisnis sejak sekolah, bukan berarti usahanya selalu lancar dan selalu untung. Saya juga beberapa kali ditipu oleh pelanggan. Tapi, dari kejadian itu saya selalu mendapat pengalaman untuk bangkit. Hal itu juga berkat bimbingan ayah saya. Makanya, sejak kecil saya memang sudah memutuskan untuk memiliki bisnis sendiri.

KONTANBagaimana Anda mengawali bisnis perhiasan?
RENY: Tahun 1998, setelah lulus kuliah, kakak meminta saya untuk membantunya berjualan perhiasan. Padahal, saya sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang perhiasan. Modal saya cuma kemauan keras untuk menjual perhiasan itu. Pertama kali saya berjualan door-to-door. Banyak yang menolak. Bahkan, saya sering dicaci-maki calon pembeli.

Tapi, target saya, yang penting setiap hari bisa ketemu satu orang. Tidak masalah kalau orang itu menolak membelinya. Pokoknya saya berusaha mempromosikannya. 

KONTAN: Lantas, bagaimana Anda mengembangkan usaha tersebut?
RENY: Saya berusaha menciptakan market sendiri. Berdasarkan daftar calon pelanggan yang saya peroleh ketika ikut bisnis multi level marketing (MLM), saya mendatangi komunitas ibu-ibu di Pondok Indah atau perkumpulan arisan. Pembeli pertama perhiasan saya adalah istri seorang komedian terkenal. Setelah itu, pembelinya semakin banyak. Saya pernah berhasil menjual 40 cincin senilai Rp 160 juta sehari.

Tahun 2000, saya memutuskan membuat sendiri perhiasan. Saya mulai belajar sendiri untuk mendesain perhiasan, seperti membaca majalah-majalah dari luar negeri untuk mengetahui tren yang sedang berkembang. Tahun 2002, saya mendatangi "Hong Kong International Jewelry" untuk menyerap ilmu dari para peserta yang hadir. Saya juga dapat bimbingan dari pemerintah Belanda mengenai cara membuat perhiasan yang berstandar mutu internasional.

KONTANMenurut Anda, apa kunci kesuksesan sehingga bisa membesarkan usaha?
RENY: Saya mengawali usaha ini tanpa modal sama sekali. Saya cuma menyadari bahwa bisnis perhiasan itu adalah bisnis kepercayaan di antara menjual keindahan dan kepuasan. Karena itu, saya berusaha meraih kepercayaan pelanggan. Tak cuma itu, saya berusaha menjaga amanah pelanggan, stakeholder dan para supplier.

Setelah itu, harus fokus mengembangkan usaha. Kalau berkecimpung di bisnis perhiasan, orang akan ragu kalau kita tidak konsisten. Jadi yang terpenting dalam membangun usaha bukan modal, ide brilian, minat atau menguasai pasar.

KONTAN: Bagaimana Anda menentukan tahapan dalam pengembangan usaha?
RENY: Let it flow, mengalir saja sesuai perkembangan bisnisnya. Ketika tidak punya modal, saya pinjam barang dari orang lain. Saat butuh barang lebih banyak, saya cari pemasok. Saya melakukan itu semua, seperti hamster. Jadi saya tahu semua aspek dari bisnis ini.

Belakangan, saya mengekspor produk perhiasan ini ke luar negeri, seperti Malaysia dan Jepang, karena besarnya permintaan. Ternyata potensi batu-batuan perhiasan di negara itu sangat besar.

KONTANApa pertimbangan membuat label sendiri?
RENY: Menurut saya, branding sangat penting karena sekaligus mengiklankan nama dan hasil desain saya. Branding juga perlu untuk pasar high end, seperti target pasar produk saya. Apalagi, belakangan, orang-orang kaya justru bangga menggunakan produk dan label dalam negeri sendiri.

Awal 2013 saya juga mendirikan Pendhapa Pusthika. Impian saya sejak 10 tahun lalu, tempat ini bukan sekadar galeri perhiasan tapi tempat untuk sosialisasi perhiasan dan mengedukasi tentang desain perhiasan.

KONTANApa Anda tak khawatir banyak kompetitor?
RENY: Saya tidak takut. Justru dengan berbagi ilmu maka bisnis ini akan semakin tumbuh. Apalagi, dalam industri kreatif, kreator itu selalu di atas sedangkan pengekor di bawah. Makanya, harus selalu kreatif!


Read more...

Kue Lapis Rizka Modalnya Pinjaman Mertua

1 comments
Bermodal pinjaman dari mertua dan Rp 500.000, Rizka Wahyu Romadhona merintis bisnis kue Lapis Bogor Sangkuriang untuk pertama kalinya. Sebelum itu, perempuan yang sudah berposisi manajer di sebuah perusahaan telekomunikasi itu memilih resign dan merintis usaha bakso.

Sayang, bisnis baksonya merugi sampai-sampai sempat menunggak cicilan rumah empat bulan. Tagihan-tagihan menumpuk. Tapi, Rizka tak menyerah. Bermula dari pengalaman sehari-hari, muncul ide menjual oleh-oleh lantaran Bogor, tempatnya tinggal, selalu macet oleh pengunjung dari luar kota.

Merintis bisnis kue lapis sejak 2011, kini usahanya membesar. Rizka sempat kewalahan lantaran pekerja makin bertambah. Bahkan, terbersit ingin mengakhiri bisnis gara-gara pusing memikirkan karyawan. Lulusan Teknik Informatika, Institut Teknologi Surabaya, ini lagi-lagi punya solusi.

Rizka Wahyu Romadhona berbagi kisah kepada wartawan KONTAN, Kornelis Pandu Wicaksono, Senin (6/1):

KONTAN: Bagaimana awal Anda berbisnis kue lapis ini?
RIZKA: Karena kepepet. Dahulu, sebenarnya punya bisnis lain. Namun kurang jalan sehingga akhirnya minus. Kemudian waktu itu banyak sekali tagihan-tagihan yang belum kami bayar. Akhirnya, puter otak, coba–coba usaha menjual beberapa produk lain sampai akhirnya menemukan ide membikin ini (kue lapis). Mulai 2011. Waktu itu bisnis usaha rumahan. Setelah itu gerilya, dari tetangga terus masuk komunitas dan dinas-dinas (lembaga/instansi pemerintah). Hingga akhirnya punya outlet di Jalan Sholeh Iskandar, Bogor.

KONTAN: Asal mula idenya dari mana?
RIZKA: Kami lihat potensi bogor seperti apa. Bogor kan kota wisata, setiap Sabtu-Minggu macet pengunjung dari kota lain. Nah, budaya kita kan selalu membawa oleh-oleh setelah bepergian. Jadi, kami lihat kenapa tidak membuat bisnis khas Bogor yang memanfaatkan itu? Apalagi Bogor juga dikenal sebagai tempat wisata kuliner. Ini konsep baru. Memang awalnya kami lihat produk-produk dari kota lain seperti Bandung dan Batam. Dari sana, kami adopsi menyesuaikan ciri khas Bogor.

KONTAN: Bagaimana kondisi bisnis Anda saat ini?
RIZKA: Menurut saya Insya Allah lebih baik. Sekarang kami sedang menata manajemen mulai dari bahan baku hingga penjualan. Saat ini banyak perbaikan yang dilakukan. Untuk penggunaan bahan baku, sudah ada pendataan. Jadi, kami mengetahui seberapa besar kerugian yang terjadi dari kelebihan bahan baku. Karena dari kelebihan itu, banyak opportunity loss atau kesempatan yang hilang untuk mencari pendapatan tambahan. Untuk mengukur kinerja kami ada Key Performance Index (KPI). Jadi, setiap bulan kami melakukan evaluasi, mulai dari kegiatan produksi sampai proses penjualan. Untuk penilaian KPI tergantung masing-masing bagian. Misal, KPI untuk bagian produksi, indikator yang dinilai adalah jumlah produksinya.

KONTAN: Apa hambatan terbesar bisnis Anda?
RIZKA: Keterbatasan ada di sumber daya manusia (SDM). Bisnis kami membutuhkan SDM dalam jumlah banyak. Namun, untuk meng-hire orang membutuhkan waktu yang lama. Belum lagi, pelatihan-pelatihan yang perlu kami berikan untuk mereka.

KONTAN: Menurut Anda, merintis bisnis di tengah kondisi saat ini bagaimana?
RIZKA: Sekarang lebih mudah. Karena pasar Indonesia itu, kan, sangat besar. Selain itu, kita juga sudah bisa menggunakan fasilitas-fasilitas seperti internet, Facebook, Twitter, dan blog untuk promosi. Fasilitas-fasilitas ini memungkinkan tidak perlu outlet fisik yang butuh modal besar.

KONTAN: Apa strategi utama ibu mengembangkan bisnis?
RIZKA: Jasa konsultan. Konsultan itu memastikan kami berada di track yang benar.

KONTAN: Mengapa menggunakan jasa konsultan?
RIZKA: Waktu itu, kami sudah mulai jalan. Karena berada di dalam, kami tak bisa melihat sendiri beberapa hal yang mungkin bisa terlihat oleh orang luar. Konsultan bisa memberi pandangan dari luar. Mereka bisa memberikan rekomendasi apa saja yang bisa dilakukan untuk menaikkan 
produktivitas.

KONTAN: Apa biaya konsultan itu mahal?
RIZKA: Tergantung, sesuai dengan target yang ingin diraih. Semakin tinggi target yang ingin dicapai, biasanya, jasa konsultan akan semakin mahal.

KONTAN: Apakah dana yang Anda keluarkan untuk jasa konsultan itu sepadan dengan hasil yang diperoleh?
RIZKA: Malah lebih. Karena kinerja menjadi lebih baik setelah memakai jasa konsultan.

KONTAN: Untung rugi pakai jasa konsultan?
RIZKA: Lebih banyak untungnya, ya. Rugi tidak ada. Karena ketika menjalani konsultansi, banyak sekali perbaikan yang dijalankan sehingga tercipta efisiensi. Sekarang penjualan semakin naik setelah kehadiran konsultan tersebut. Jadi, modelnya lebih ke konseling. Kami punya masalah, lalu sharing ke mereka. Nanti mereka bantu dengan memberi saran. Tapi, tetap pengambilan keputusan ada di kami. Contoh terakhir, ya, masalah SDM. Jadi, ada karyawan masih baru, sudah keluar. Nah, kami harus buat sistem mengenai itu. Misalnya, job desk, kontrak, dan lain-lain.

KONTAN: Berapa nilai omzet dan jumlah outlet sekarang?
RIZKA: Sekarang ada tiga outlet, di Jalan Sholeh Iskandar dan Jalan Pajajaran, Bogor, serta satu di Cibinong. Omzet alhamdullilah banyak. Cuma kami ini lagi benerin laporan pajak, jadi, maaf, belum bisa menyebutkan nominal.

KONTAN: Bagaimana rencana bisnis ke depan?
RIZKA: Meningkatkan jumlah produksi dahulu supaya stabil. Saat ini, demand jauh lebih banyak daripada volume produksi kami. Untuk mengakalinya, kami membatasi jumlah pembelian tiap pembeli.

Read more...
Tuesday, 6 May 2014

Tak Betah Merantau, Masril Rintis Bank di Kampung

0 comments
Banyak orang berpikir kreatif ketika berhadapan dengan masalah. Berangkat dari kesulitan mencari modal untuk memperluas kebun ubi jalar di kampungnya, Baso, Agam, Sumatra Barat (Sumbar), Masril Koto bertekad membuat bank petani.

Bank inilah yang kemudian mengantarkan pria asli Minang itu memenangi berbagai penghargaan sebagai social entrepreneur. Dengan semangat dan ketekunan, Masril membangun lebih dari 900 bank petani berbentuk lembaga keuangan mikro agribisnis (LMKA) di seluruh Indonesia. Sistem bank ini juga diadopsi oleh pemerintah dan menjadi cikal bakal Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan Nasional.

Seperti sebagian pria Minang lain, Masril muda merantau ke Jakarta pada 1994. Seorang teman ibunya mengajak Masril, saat itu buruh di Pasar Padang Luar, Bukit Tinggi, membantunya di usaha percetakan di Jakarta. Tak cuma memproduksi kantong, karena lokasinya dekat dengan kampus Trisakti di Cempaka Putih, pemilik percetakan berbisnis jasa fotokopi. 

Masril yang hanya lulus kelas empat SD ikut membaca materi-materi kuliah. Pria kelahiran 13 Mei 1974 ini juga belajar berorganisasi dari para mahasiswa. Tempat Masril bekerja menjadi tempat berkumpul para perantau asal Sumbar. “Di Jakarta, saya belajar berorganisasi,” kenang Masril.

Setelah empat tahun di ibukota, Masril pulang ke Agam. “Saya tidak tahan melihat kekerasan yang terjadi di saat krisis,” kenang Masril.

Setibanya di kampung, dia terkejut mendapati pemuda di kampungnya mulai terkotak-kotak: ada kelompok perantau dan pemuda yang belum pernah merantau. Melihat kondisi itu, Masril merangkul para remaja untuk bergotong-royong membangun lapangan basket. Lapangan ini yang akhirnya menjadi tempat berkumpul para pemuda di kampung Masril. Di situ pula terbentuk organisasi kepemudaan karang taruna di kampungnya, Banu Hampu.

Supaya bisa mendanai berbagai kegiatan organisasi, Masril berinisiatif membangun ruko di tanah desa yang akan menjadi milik para pemuda. “Kebetulan ada jalan baru di depan ruko,” tutur Masril. 

Untuk membangun enam ruko, Masril berutang ke toko bangunan. Selama dua tahun, uang sewa dari lima ruko dibayarkan ke toko bahan bangunan. Sementara, uang sewa satu ruko sisanya, menjadi milik organisasi pemuda di sana yang akhirnya berkembang menjadi Yayasan Amai Setia.

Diundang Bank Indonesia

Masril menikah dengan Ade Suryani yang berasal dari kecamatan berbeda di Agam. Masril mengikuti keluarga istrinya di Nagari Koto Tinggi, Baso. Kembali, Masril menemui berbagai masalah. Satu yang paling mencuri perhatiannya adalah masalah modal memperluas kebun.

Setelah melalui serangkaian diskusi, baik dengan petani maupun instansi pemerintahan terkait, para petani ubi jalar di Baso ingin adanya sebuah bank petani. Masril kembali tampil. “Saya merasa punya talenta berorganisasi,” kata dia. Demi merintis bank petani, Masril keluar masuk bank di Padang. Ia menanyakan cara-cara mendirikan bank, namun tak pernah mendapat jawaban memuaskan. “Sepertinya kami tak mungkin membuat bank sendiri,” jelas dia.

Tak patah semangat, Masril terus berkonsultasi dengan Dinas Pertanian di kabupatennya. Hingga suatu ketika ada sebuah pelatihan akuntansi yang diselenggarakan untuk kelompok tani tersebut. Masril pun mendapat kesempatan berkenalan dengan pegawai Bank Indonesia (BI). Merasa bertemu orang yang tepat, dia bertanya segala sesuatu tentang seluk beluk pendirian bank. Masril pun diundang datang ke kantor BI. “Sekitar 2005, saya baru datang ke BI. Pengalaman pertama saya datang ke gedung perkantoran di kota,” kenang dia.

Berbekal penjelasan dari BI, Masril dan para petani segera menyusun rencana membuat bank petani. Dia mengumpulkan modal dari para petani, dengan cara menjual saham, senilai Rp 100.000 per saham. Dari 200 petani di Baso, terkumpul modal Rp 15 juta. Setelah empat tahun melewati perjuangan melelahkan, baru pada awal 2006, bank yang dikelola lima pengurus ini mulai beroperasi. Masril pun ditunjuk sebagai ketua.

Dalam hitungan hari, seluruh modal terserap habis menjadi kredit. Masril kembali bingung karena tak ada uang yang mengendap. Dari situ, dia lantas berpikir perlunya iuran pokok bagi nasabah yang dibayar setahun sekali untuk biaya operasional. Masril juga membuat beberapa produk tabungan, sesuai dengan kebutuhan petani, seperti tabungan pupuk. Oh, iya, agar meyakinkan, Masril yang paham produk percetakan membuat saham dan buku-buku tabungan, dan catatan kredit seperti bank pada umumnya.

Keberhasilan bank petani ini segera tersebar luas. Banyak organisasi masyarakat datang ke bank petani ini untuk melakukan studi banding. Bahkan, dalam kunjungannya meninjau gempa di Padang pada 2007, beberapa menteri mampir ke bank petani yang kemudian berubah nama menjadi LKM Prima Tani ini.

Sayang, lantaran tak lagi sepaham dengan visi yang diemban para pengurus LKM, Masril keluar pada 2009. Saat itu aset sudah mencapai Rp 150 juta. “Saya ingin menularkan keberhasilan ini untuk petani lainnya,” tutur dia.

Mulailah Masril berjuang seorang diri menjadi relawan. Ditemani sepeda motor kesayangan, dia memperkenalkan konsep LKM agribisnis ini ke kelompok-kelompok petani di Sumatra Barat, tanpa bayaran sepeser pun. “Mereka hanya mengisi bahan bakar sepeda motor saya,” kata Masril. 

Pada 2010, seorang warga Jepang menemuinya dan meminta Masril membantu membuat LKM agribisnis untuk 2.000 petani di Sumbar. Ini merupakan pencapaian besar karena rata-rata kelompok tani yang ia kelola hanya setingkat desa, terdiri dari 200 petani. Namanya pun kian berkibar sebagai pencetus bank petani. 

Tak berhenti di Sumbar, Masril juga menularkan konsep bank petani ini ke seluruh daerah di Indonesia. “Saya ingin mengajak petani berdaulat secara pangan dan ekonomi di desanya,” katanya. 

Kini, ada sekitar 900 LMK yang telah dibentuk Masril, dengan aset mulai dari Rp 300 juta hingga Rp 4 miliar per LMK. Dia menaksir, total kelolaan dana LKMA secara keseluruhan mencapai Rp 90 miliar dengan 1.500 tenaga kerja yang merupakan anak petani.

Masril yang kini sering tampil sebagai pembicara, sebagai wakil BI atau dosen undangan di berbagai universitas, menargetkan 1.000 LKMA di tahun 2016. Dia menitikberatkan pendirian LKMA di Indonesia Timur, khususnya daerah yang belum terjamah institusi keuangan.

Read more...

Moeljadi, Sang Operator yang jadi Produsen Mesin

0 comments
Tidak banyak orang yang sukses merintis usaha dari bawah. Meski harus sabar dengan proses yang panjang, asal mau belajar dan tekun di bidang usaha yang menjadi keahlian, pasti jalan menuju keberhasilan akan terbuka lebar. Perjalanan inilah yang dilalui oleh Moeljadi, yang kini sukses menjadi produsen mesin cuci mobil sekaligus motor robotik di Indonesia.

Dalam waktu sebulan, pria kelahiran Banyuwangi, April 1971, ini mampu memproduksi puluhan mesin untuk cuci mobil maupun sepeda motor dengan merek Sato. Tak hanya memasok gerai-gerai pencucian kendaraan tersebut di Indonesia, Moeljadi juga mengirimkan produknya ke Vietnam, Afrika, dan Timur Tengah. Bahkan, pada 2010 lalu, dia juga merintis pabriknya di India.

Sejak awal, pria yang besar di Semarang ini memang bertekad menjadi pengusaha, karena menyadari karakternya yang tak suka dikekang. Dia pun memilih melanjutkan ke sekolah menengah kejuruan di STM Pembangunan, Semarang, jurusan konstruksi mesin. “Saya pilih STM, karena mengajarkan keahlian yang bisa langsung dipakai,” cetus Moeljadi. 

Namun, setelah lulus, ayah dari tiga anak ini tertarik juga untuk menimba ilmu di perguruan tinggi. Tidak tanggung-tanggung, universitas yang menjadi incaran Moeljadi adalah kampus favorit di dalam negeri, semacam Institut Teknologi Bandung dan Universitas Gadjah Mada. Sayang, Moeljadi tidak lolos saringan ujian masuk. “Karena tidak diterima, saya berpikir untuk langsung bekerja,” jelas dia.

Tak patah semangat, pada 1991, Moeljadi segera berangkat ke Jakarta, menyusul kakaknya yang lebih dulu merantau di Ibukota. Dia berharap mendapat pekerjaan dengan upah yang layak. Namun, peruntungan berkata lain. Sesampainya di Ibukota, dia harus mau jadi operator mesin bubut dengan upah Rp 2.800 per hari. 

Meski merasa gajinya kurang untuk kebutuhan sehari-hari, Moeljadi tetap bertahan. “Saya memang ingin mencari pengalaman,” kenang dia. Untuk menyambung hidup, saat itu, dia mendapat subsidi dari kakaknya.

Lantaran tak ingin terus mendapat kucuran subsidi, setelah tiga bulan, Moeljadi pun memutuskan untuk mencari pekerjaan baru. Ternyata, di bengkel yang baru, pekerjaannya tetap sama: operator mesin bubut dengan upah Rp 7.500 per hari. Meski gajinya lebih besar, ia tak betah lama bekerja di situ karena merasa tidak sepaham dengan atasannya. 

Melihat kondisi ini, sang kakak pun lantas mengajaknya membuka bengkel bubut. Mereka memang tidak mendirikan yang baru tapi menjalankan bengkel bubut yang hampir bangkrut, milik kenalan kakak Moeljadi. 

Moeljadi pun mulai tertantang. Dia termotivasi untuk mengoptimalkan apa yang tersisa di bengkel tersebut, supaya bisa bangkit lagi. Tak lupa, dia menimba pengalaman sebagai persiapan membuka bengkel bubut sendiri.

Fokus di Otomotif

Setelah tiga tahun mengelola bengkel bersama sang kakak, Moeljadi akhirnya memberanikan diri untuk berusaha sendiri. Berbekal uang Rp 5 juta, hasil tabungannya, dia membeli mobil untuk berkeliling mencari pelanggan. Setelah mendapatkan order, ia menggarapnya di bengkel sang kakak. 

Pada tahun-tahun awal, Moeljadi bekerja keras mencari pelanggan. Setiap hari, dia berkeliling ke pabrik-pabrik di Jabodetabek, menawarkan pesanan komponen logam atau mesin.

Melihat order yang terus meningkat, Moeljadi akhirnya menyewa lahan untuk mendirikan bengkel sendiri. Berbekal uang pinjaman senilai Rp 15 juta, dia membuka bengkel seluas 300 m2 di Duri Kosambi, Jakarta Barat.

Karena untung masih tipis, pada tahun kedua, anak ke-7 dari delapan bersaudara ini berutang Rp 15 juta ke kakaknya yang lain. “Waktu itu, saya belum berani pinjam uang di bank karena tak punya aset untuk agunan,” ujarnya.

Seiring perjalanan waktu, Moeljadi mulai terpikir untuk mencari jatidiri usahanya. Pada tahun 2000, melihat perkembangan otomotif dalam negeri yang pesat, dia pun berniat menggarap pasar perlengkapan untuk otomotif.

Moeljadi berhasil merakit mesin hidraulik untuk cuci mobil. Bahkan, ia mengklaim dirinya sebagai pelopor mesin hi-draulik dalam negeri. “Pada tahun 2000 itu, saingan saya hanya produk impor,” serunya.

Mujur, pasar menerima produknya. Puluhan mesin hidraulik ia kirim ke tempat-tempat pencucian mobil saban bulan. Melihat bisnisnya makin maju, dia pun berekspansi dengan menyewa lahan baru yang lebih luas. “Saya juga mulai berani pinjam bank,” kata pria yang suka minum kopi di warteg ini. 

Popularitas mesin hidraulik mengundang banyak produsen mesin ikut terjun ke bisnis ini. Kondisi ini justru menggugah semangat Moeljadi untuk menciptakan mesin-mesin baru. Pada 2006, dia berhasil membuat mesin cuci robotik, yang kemudian diberi nama Sato Robotic Car Wash. Dia juga menciptakan Robotic Cycle Wash untuk sepeda motor. Semua produk telah dipatenkan Moeljadi.

Seiring perkembangan usaha, Moeljadi memindahkan pabriknya ke Cipondoh, Tangerang. Pabrik baru itu menempati lahan seluas empat hektare untuk menampung 45 karyawan. Kapasitas produksi terpasang di pabrik mencapai 30 unit mesin per bulan. 

Pada 2010, Moeljadi juga membuka pabrik di India, mengingat permintaan dari negeri Bollywood itu cukup besar, yakni 15–20 unit per bulan. 

Selain India, pasar Sato juga tersebar hingga Afrika, Vietnam, dan Timur Tengah. Produk Sato memang bersaing, karena harganya cukup miring. Harga Robotic Car Wash, misalnya, berkisar Rp 200 juta per unit. “Selain itu, tak makan banyak tempat dan unik bentuknya,” kata dia berpromosi.

Read more...

Saefudin dan Redy dari Karyawan jadi Pengusaha

0 comments
Niat untuk berbisnis bisa muncul kapan saja. Namun, banyak orang merasakan niat kuat justru semasa saat menjadi pegawai, dan merasa karier serta penghasilan yang diperoleh sudah mentok. Jika ingin berkembang, mereka harus melakukan lompatan.

Gejolak seperti itu yang muncul dan mendorong Saefudin dan Redy Ardiansyah bersalin status dari karyawan menjadi pengusaha. Niat berubah menjadi tekad kuat setelah mereka melihat berbagai celah bisnis yang potensial. Maklum, selama bekerja, Saefudin selalu berada di ring pertama pemilik perusahaan. “Karena sering berhubungan denganowner, saya bisa melihat ada peluang bisnis,” kata Saefudin yang pernah bekerja di tiga perusahaan berbasis perikanan.

Berbumbu semangat dan keberanian, niat dan tekad Saefudin untuk menjajal bisnis sendiri seolah tak terbendung. Ia juga mengajak sahabatnya semasa kuliah, Redy Ardiansyah, terjun dalam bisnis perdagangan ikan pada 2006. “Waktu itu masing-masing hanya setor modal Rp 15 juta,” kata pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, ini. 

Saefudin dan Redy memang tidak benar-benar melangkah dari nol. Mereka memiliki cukup pengetahuan dan pengalaman di bisnis perikanan. Maklum, keduanya lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Perikanan di Jakarta. Saefudin pernah menimba pengalaman di beberapa perusahaan pengolahan hasil laut. Redy berbekal pengalaman bekerja di sebuah perusahaan pengolahan ikan asal Jepang. “Saya juga pernah menjadi checker tuna,” tutur Saefudin. 

Untuk berdagang ikan, mereka menyewa sebuah gudang di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara. “Kami membeli ikan dari daerah seperti Bali, lalu kami jual lagi,” kata Saefudin. 

Sayang, bisnis jual beli ikan ini hanya bertahan selama dua tahun. Meski dia mengakui berdagang adalah usaha yang sederhana dan bisa mendatangkan untung yang cepat, Saefudin tidak mampu mengimbangi perputaran bisnis ikan yang cepat. “Kami hanya mampu ikut di pusaran. Bahkan, kadang ikan kami jual tanpa untung,” kenang pria 43 tahun ini. 

Perjalanan selama dua tahun itu pun dianggap Saefudin sebagai proses pembelajaran. Akhirnya, mereka menutup gudang di Muara Baru. “Sudah banjir, sewanya mahal pula. Dalam hitungan bisnis, tak menutup ongkos operasional,” kilah Saefudin. Dari situ dia berhasil memetik pelajaran: dalam berbisnis harus bisa menciptakan pusaran supaya bisa mengendalikan bisnis.

Sehat dan Aman

Untung saja, di sela-sela berbisnis ikan, mereka juga menjual produk olahan, berupa bakso ikan. Saefudin dan Redy pun memilih untuk memperbesarkan usaha bakso saja. “Karena, kami bertekad menciptakan pusaran,” terang dia.

Bakso sengaja dipilih karena mereka mengusung konsep jajanan yang bisa dijual dalam satuan terkecil. Bukan bakso kuah, Saefudin ingin bakso ikan ini menjadi bakso tusuk layaknya cilok. Jadi, bisa dibeli biarpun cuma satu buah. “Selain tak memberatkan konsumen, ada kemungkinan mereka akan beli lagi esok hari,” jelas Saefudin.

Tak hanya itu, Redy yang paham benar akan produk pangan, juga menonjolkan aspek makanan sehat karena kandungan ikan tuna dan aman (food safety) dalam produknya. Selain memberi label halal, mereka juga menjamin mutu produk melalui metode traceability. “Dengan tiga hal itu, kami meng-edukasi pasar akan makanan dengan harga terjangkau tapi berkualitas,” kata Saefudin.

Strategi itu pun berbuah manis. Dari berbagai promosi dan pameran, produk bakso Sakana Indo Prima pun mendapat respons baik di pasar. Saefudin berhasil menggaet sejumlah distributor dan agen sebagai kepanjangan tangannya. Melihat pasar yang bertumbuh, Saefudin mendirikan pabrik sendiri di Parung, Bogor, pada pertengahan tahun 2009 lalu.

Berhasil mendirikan pabrik, bukan berarti kerja keras berakhir. Selama enam bulan pertama, dua sahabat ini selalu pulang larut malam. “Kami harus selalu melakukan analisis proses produksi sehari-hari,” kenang Saefudin.

Setelah menginjak tahun kedua, hasil jerih payah yang selama ini mereka lakukan mulai tampak. Pasar dan produksi sudah mulai stabil. “Kami juga baru terbebas dari berbagai utang,” kata Saefudin. Produk Sakana pun juga mulai merambah ritel modern. 

Seiring waktu yang berjalan, pabrik Sakana pun terus bertambah luas. Dari semula cuma berdiri di atas lahan 250 m2, kini pabrik sudah diperluas hingga 1.200-an m2 dan mempekerjakan sekitar 100 orang. Dua tahun lalu Saefudin juga mengembangkan pabrik di Semarang. 

Produk olahan ikan mereka semakin berkembang, mengikuti permintaan pasar. Tak hanya bakso, kini Sakana menjual lebih dari 15 item produk olahan ikan, seperti nuget, siomai, otak-otak, dan lainnya. Saban hari pabrik mereka mengolah sekitar empat ton bahan baku. 

Kini Saefudin berencana mengembangkan produk untuk segmen konsumen di pasar tradisional. “Pasar di segmen ini sangat besar, konsep kami sudah matang,” ujar ayah dua anak ini. Selain itu, Sakana pun melirik dua lokasi di Sumatra untuk pendirian pabrik baru.

Read more...

Asah Ilmu Kambing, Andi Nata jadi Raja Akikah

0 comments
Buah yang manis memang bisa dihasilkan dari kerja keras. Andi Nata telah membuktikannya. Kebiasaannya giat belajar dan bekerja sedari masa sekolah mengantarkan dia menjadi salah seorang pengusaha sukses.

Andi yang mulai merintis bisnisnya sebagai peternak kambing, kini menjadi salah satu pengusaha katering khusus akikah besar di Jakarta. Saban bulan, pria asal Plered, Cirebon, ini bisa mendulang omzet Rp 300 juta. Berbagai penghargaan sebagai wirausaha muda, baik tingkat nasional maupun internasional, berhasil ia sabet. 

Padahal, Andi tak pernah membayangkan dunia usaha bakal mengharumkan namanya. Dia terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ayahnya, Sumari, adalah seorang karyawan bengkel furnitur. Adapun sang ibu, Roaenah, adalah ibu rumahtangga. “Mayoritas keluarga saya bertani di Plered,” kata pria berusia 25 tahun.

Beruntung, dia memiliki otak yang encer. Kemampuan akademis pria, yang saban hari ia mengayuh sepeda dari rumahnya ini, selalu unggul. Tak heran, beasiswa kerap menghampirinya semasa sekolah.

Bahkan, sejak SMA, Andi selalu mendapatkan beasiswa. Kondisi ini pun terus berlanjut hingga dia kuliah di Universitas Indonesia. “Yang saya ingat, pesan nenek, enggak boleh takut dengan keadaan, karena kami tak punya apa-apa, saya incar beasiswa,” tutur anak ketiga dari enam bersaudara ini. 

Duduk di bangku kuliah membuat Andi punya banyak waktu luang. Tidak seperti saat SMA, dia menyadari, banyak waktu-waktu kosong di sela-sela kuliahnya. Andi pun berpikir untuk memanfaatkan waktu kosong ini untuk menambah koceknya. Berbekal ilmunya saat SMA, dia memberi kursus di sejumlah lembaga bimbingan belajar di Depok.

Hingga suatu ketika, kabar buruk ia terima pada medio 2007. Sang ayah tertimpa kecelakaan kerja dan harus dioperasi dengan biaya Rp 35 juta. Andi pun terketuk hatinya melihat adik-adiknya yang masih kecil dan butuh biaya.

Sayang, duit dari hasil les tidak mencukupi. Sekuat tenaga, Andi mengumpulkan dana untuk keperluan operasi. “Saya meminjam ke orang tua murid dan teman-teman,” kenangnya. Bahkan, untuk membayar pinjaman itu, dia rela tak digaji sebagai guru les privat selama beberapa tahun.

Andi pun rajin mengikuti ajang karya ilmiah di kampus. “Pokoknya, semua yang menghasilkan uang, saya ikuti,” kata dia. Akhirnya, dia berhasil membiayai operasi ayahnya.

Setelah ayahnya benar-benar sembuh, Andi mulai berpikir untuk memberi kesibukan dan penghasilan bagi orang tuanya. Dari situ, kemudian, terlintas ide di benak Andi untuk beternak kambing. Mulailah dia berburu pengetahuan tentang beternak kambing.

Dengan modal Rp 8 juta, hasil tabungannya, Andi mulai merintis peternakan kambing di Plered. Dia membeli empat kambing betina dan satu kambing jantan. Perawatan kambing-kambing ini ia serahkan ke orangtua dan sejumlah saudaranya di kampung.

Tak lupa, Andi terus mengasah ilmunya soal kambing. Dari seorang teman, dia mendapat info adanya peternak besar di Jakarta Utara. Andi pun segera mendatanginya dan mengungkapkan niatnya untuk mempelajari seluk-beluk soal beternak kambing. Berbulan-bulan, Andi tinggal di sana. “Dari sana, saya sadar, dalam bisnis, kuncinya tekun dan tahu diri. Selama di sana, saya bantu dengan bersih-bersih juga,” kata dia.

Andi selalu bercerita tentang peternakan kambing itu kepada teman-teman yang ditemuinya dalam berbagai komunitas. Lantaran benar-benar ingin terjun ke dunia bisnis, dia lantas bergabung dalam berbagai komunitas. Melihat hasil peternakannya, sejumlah teman pun tertarik bergabung. Hingga pada akhir 2009, peternakan Andi telah memiliki 258 ekor kambing, dengan suntikan modal 20 investor.

Sayang, penjualan kambing terbesar hanya bisa dilakukan saat Idul Adha. Andi pun kembali harus memutar otak. Ketika berkunjung ke peternakan tempatnya berguru, Andi mendapat masukan untuk berbisnis katering. Mulailah Andi dengan usaha katering akikah dengan nama Raja Aqiqah. “Tapi saya tak memasak sendiri, masakan dikirim oleh Pak Haji, pemilik peternakan itu,” cetus dia. 

Bisnis katering ini cepat dikenal. Maklum, Andi rajin keluar masuk gang di Depok untuk menempel brosur setiap malam. Ia juga masuk ke komunitas yang tepat. “Biar enggak malu, kalau memasang brosur pakai helm,” kelakarnya.

Bisnis ini lebih menggiurkan daripada peternakan kambing. “Untungnya lebih besar, bisa sampai Rp 250.000 per ekor kambing,” ujar pria kelahiran 7 Januari 1989.

Kebetulan, di saat yang sama, tepatnya 2010 akhir, ada investor yang tertarik membeli kambing di peternakan Andi. Investor itu ingin memulai usaha penggemukan kambing. Tak berpikir lama, Andi menerima tawaran itu karena ingin fokus membesarkan bisnis katering dan mengubah peternakannya menjadi pembiakan kambing. 

Pada 2011, Andi mulai membesarkan usaha katering dengan membenamkan investasi hingga Rp 150 juta. Dia pun mencari jurumasak sendiri untuk kateringnya. “Kebetulan, ada orang yang pintar masak, tapi lagi nganggur,” jelasnya. 

Didukung oleh masakan yang lezat, bisnis kateringnya pun melesat. Pesanan selalu datang setiap hari, bahkan jangkauannya juga lebih luas, bukan cuma di Depok.

Tak berhenti di bisnis katering akikah, Andi pun menjajal bisnis properti pada 2012. Dia membeli rumah-rumah seken, dan merenovasinya untuk dijual kembali. Belum cukup, dia melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka usaha traveling. Sejak tahun lalu, melalui bendera PT Andinata Sumari, 
Andi menawarkan perjalanan umrah dan haji plus. 

Kejar S-3 untuk Perluas Jaringan 

Lantaran sibuk mencari uang di masa-masa awal menjadi mahasiswa, kuliah Andi Nata sempat terbengkalai. Maklum, saat itu, dia sudah merasakan nikmatnya bekerja dan punya penghasilan sendiri. Andi bercerita, uang dari hasil memberi bimbingan belajar bisa mencapai Rp 4 juta per bulan. “Ini hasil yang cukup besar bagi saya waktu itu,” kata Andi yang mengambil jurusan teknik mesin untuk jenjang S-1.

Setelah mendapat pencerahan dari salah satu orang tua murid, yang meneruskan sekolah meski sudah menjadi pengusaha sukses, barulah Andi kembali serius menekuni kuliahnya. “Dulu, saya suka datang, lalu pulang duluan, karena mengejar waktu untuk memberi les,” ucapnya. 

Pasalnya, bukan hanya di kawasan Depok, saat itu jangkauan Andi bisa mencapai kawasan Jakarta dan Bekasi. Tak heran, saat kembali duduk ke bangku kuliah, Andi harus mengulang hingga 10 mata kuliah lagi.

Andi merasa perlu untuk terus membekali diri dengan pendidikan. Dan, ia pun makin yakin bahwa dari pendidikan itu ia bukan cuma memperoleh ilmu baru. “Dengan kuliah lagi, saya bisa memperluas jaringan untuk mendukung bisnis,” jelasnya. Dia pun mengakui, pesanan banyak datang dengan promosi dari mulut ke mulut, yang juga dilakukan oleh sesama rekannya di kampus. 

Selain itu, dia bisa mengaplikasikan berbagai teori yang diperolehnya dengan praktik di lapangan. Untuk menggugah semangatnya terus menyala, tak lupa, Andi pun melahap berbagai buku motivator. 

Setelah menyelesaikan jenjang S-1, Andi pun melanjutkan pendidikannya menempuh jenjang S-2 di Teknik Industri, Universitas Indonesia. Kini, dia sedang mempersiapkan jenjang lebih tinggi lagi, yakni S-3 dengan mengambil konsentrasi ilmu manajemen, masih di universitas yang sama. 

Tentu saja, Andi tak ingin menyimpan semua ilmunya sendiri. Kini, selain menjalani peran sebagai mahasiswa, dia juga sering menjadi dosen tamu di beberapa universitas.

Read more...

Penasaran Hartati, Buka Jalan jadi Juragan

0 comments
Terjun ke dunia bisnis, bagi Hartati Hartono, merupakan suatu ketidaksengajaan. Dia terpaksa menjalankan usaha boneka, yang awalnya dirintis oleh sang ayah. Namun, perempuan 47 tahun ini berhasil membuktikan kepiawaian dan keuletannya berbisnis. Menggeluti bisnis boneka selama 21 tahun, kini dia memproduksi 900.000 boneka per tahun di bawah kibaran bendera PT Royal Puspita. 

Perempuan kelahiran Semarang, 16 Juli 1967, ini tak pernah bercita-cita menjadi pengusaha. Tak heran, ketika lulus SMA, alih-alih mengambil jurusan ekonomi atau bisnis, Hartati memilih studi Sastra Asia Timur di Toronto, Kanada, karena ingin mendalami sejarah dan budaya di kawasan Asia Timur.

Bersamaan ketika ia lulus kuliah, pada 1991, sang ayah diajak teman lamanya, merintis bisnis boneka. Diiming-imingi kebutuhan modal yang tak besar, ayah Hartati pun menerima tawaran bisnis tersebut. Apalagi, bisnis boneka sedang booming kala itu.

Ketika ayahnya mengadakan pelatihan untuk karyawannya, Hartati ikut serta. “Bukan karena niat bekerja dengan ayah, saya ikut pelatihan selama empat bulan, melainkan karena penasaran dengan cara memproduksi boneka,” jelas dia.

Namun, ketika usaha boneka baru mau berjalan, orang-orang yang direkrut sang ayah malah hengkang. Termasuk, orang yang menjadi kandidat pemimpin perusahaan. Di sini terbuka pikiran Hartati untuk membantu sang ayah. Maklum, perusahaan masih benar-benar baru, sementara pabrik sudah siap. “Saat itu, niat saya hanya membalas budi ke ayah yang sudah menyekolahkan saya jauh-jauh,” ujar Hartati yang saat itu baru berumur 24 tahun. 

Hartati pun duduk menjadi pengendali perusahaan, menggantikan ayahnya, yang melanjutkan bisnis lamanya. Meski pabriknya sudah terbangun sejak 1991, PT Royal Puspita baru memproduksi boneka pada 1993. Dengan 50 mesin jahit, Hartati mempekerjakan sekitar 150 karyawan. 

Harus Pegang Lisensi

Untuk memasarkan bonekanya, Hartati menjalin kerja sama dengan perusahaan asal Korea Selatan yang bertindak sebagai agen penjual. “Buyer mengorder boneka ke agen di Korea Selatan, tapi kami yang memproduksi di Indonesia dan mengirimkannya ke luar negeri,” kata dia. Berbagai produk boneka Royal Puspita pun diekspor ke berbagai negara, terutama Amerika Serikat (AS). 

Sayang, ketika roda bisnis berjalan dengan baik selama lima tahun, krisis moneter yang mendera Indonesia ikut berimbas pada Royal Puspita. Pasalnya, Indonesia dimasukkan dalam kategori war zone. Karena dianggap tidak aman, kargo dari sini ke Amerika Serikat (AS) dan Eropa dikenakan biaya tambahan US$ 1.000. Bagi Royal Puspita, surcharge itu berarti kenaikan biaya pengiriman hingga 25%.

Banyak klien dari AS dan Eropa pun mengurungkan niat mengorder boneka dari Indonesia. Hartati harus rela mengurangi karyawan hingga 50%. “Tidak ada yang dikerjakan,” ujar dia. 

Hartati pun segera memutar otak supaya roda perusahaan terus berjalan. Dia melirik bisnis lisensi dari perusahaan besar di AS, yakni Disney. “Supaya gampang dalam pemasaran, produsen harus pegang lisensi merek internasional,” tutur dia. 

Tak hanya lisensi, Hartati juga mengembangkan produk. Pabriknya tidak lagi membatasi diri sebagai pembuat boneka karena pesanan boneka sudah sangat sedikit. Hartati menjatuhkan pilihan pada produk tas boneka yang kebetulan sedang tren di AS pada waktu itu. Produk ini memang jarang dikerjakan oleh produsen boneka. Di lain pihak, produsen tas tidak mau menerima orderan tas boneka, karena kesulitan untuk membikin modelnya.

Peluang ini tidak disia-siakan Hartati. Apalagi, saat itu, China terkena pembatasan pengiriman tas boneka ke AS dan Eropa. Alhasil, “Dari tas boneka, Royal Puspita survive di saat sekarat,” tutur ibu tiga anak ini. 

Namun, diakui Hartati, perjuangan mendapatkan lisensi tidak mudah. Sebagai produsen boneka, Royal Puspita harus bersedia diaudit habis-habisan. Dia juga harus melakukan berbagai perbaikan agar pabriknya memiliki standar mutu yang diinginkan pemilik lisensi.

Dari bahan, tenaga kerja, operasional pabrik dan hal-hal kecil lain, harus sesuai dengan standar dan aturan. Ambil contoh, toilet. Satu toilet hanya boleh digunakan untuk 16 orang. 

Untuk memenuhi standar itu, dia harus menambah toilet di pabriknya. “Hal-hal kecil juga harus diperhatikan, makanya tidak banyak pabrik boneka yang sanggup,” kisah dia.

Kelihaian berbisnis Hartati kembali diuji ketika pembatasan kuota tas boneka China dicabut pada 2001. Dia harus menggali peluang yang ada, setelah tas boneka China kembali merajai pasar. Dia pun beralih ke kostum tokoh kartun. Supaya dapat lisensi, Royal Puspita lagi-lagi harus lulus audit. Meski berat, toh, perjuangan Hartati berbuah manis. Produk kostum ini mencatatkan pendapatan US$ 2 juta selama setahun.

Setelah melewati berbagai rintangan, Hartati menyadari untuk bertahan di bisnis boneka, ia harus bersaing di level atas dengan memegang lisensi. Apalagi, Di China, tidak banyak perusahaan punya standar klasifikasi seperti perusahaan berlisensi. “Itu juga mempersempit persaingan,” kata dia.

Kini, produk Royal Puspita kini laris manis di pasar mancanegara. Selain AS dan beberapa negara di Eropa, ia juga mengekspor produknya ke Jepang. Hartati bilang, 50% di antaranya merupakan produk lisensi, seperti Disney, Spongebob, San Rio, Sesame Street, Nickelodeon, Cartoon Network, dan Shaun the Sheep. 

Berbagai boneka yang dijual Royal Puspita dibanderol dengan kisaran harga US$ 1–US$ 30 per item. Dari bisnis ini, perusahaannya mengantongi omzet berkisar US$ 6 juta–US$ 7 juta per tahun. 

Merangsek Pasar Lokal

Belasan tahun memasok boneka ke mancanegara, ternyata, tidak membuat Hartati Hartono puas. Bersama sang suami, Sudarman Widjaja, Hartati berharap bisa membesarkan perusahaannya dan tetap bergelut di bisnis boneka. 

Di masa mendatang, dia berharap PT Royal Puspita bakal memproduksi boneka untuk kebutuhan pasar lokal. Hartati mengidamkan orang Indonesia bisa bermain boneka berkualitas yang bagus dan aman. 

Selama dua tahun ini, Royal Puspita mulai menjajaki pasar lokal. Lewat pemasaran mulut- ke mulut, ia kerap mendapat order dari sejumlah bank untuk menyediakan boneka sebagaipromotion gift. Pesanan dari bank itu mencapai 15% produksi Royal Puspita. 

Namun, setahun belakangan tidak banyak lagi bank mengadakan program hadiah boneka. Alhasil, produksi boneka untuk pasar lokal turun menjadi hanya 10%.

Ini jadi tantangan tersendiri bagi Hartati. Menurut dia, masyarakat Indonesia masih memandang sebelah mata produk buatan lokal. Apalagi jika banderol harganya mahal. “Mungkin dipikir, buat apa bayar mahal-mahal hanya untuk beli boneka,” kata dia.

Hartati menjelaskan, produknya memang tergolong mahal karena sudah berkali-kali dites dan mendapat sertifikat internasional. Sementara itu, untuk melewati satu tes saja, ia harus membayar sekitar US$ 2.000. Namun, tes itu harus dilalui supaya produknya terbukti aman bagi anak-anak. 

Pasalnya, sekarang ini banyak sekali mainan boneka yang tidak memenuhi standar. “Boneka saya kalau dicuci tidak gampang luntur, bahkan kalau mau diemut sama bayi pun tetap aman, tidak mengakibatkan kanker,” ucap dia berpromosi. 

Hartati menambahkan, kebanyakan produsen menurunkan standar ketika menjual produknya untuk pasar lokal. Namun ia tidak mau begitu. “Kami bekerja dari hati, jadi rasanya tidak tega menjual barang dengan kualitas jelek sementara kami sudah tahu standarnya seperti apa,” ungkap dia.

Read more...

Label

 
Wong Leces © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

Man Jadda Wajada. Siapa yang Bersungguh-sungguh Akan Berhasil