Oleh Muhammad Yusuf Efendi
Kuringgu… kuringgu …. kuringgu!!! (kring …kring …kring..). Suara telepon rumah Muhammad berbunyi nyaring.
Muhammad: Mosi mosi? (Hallo?)
Takahashi: Mosi mosi, Muhammad san imasuka ? (Apakah ada Muhammad?)
Muhammad: Haik, watashi ha Muhammad des. (Iya saya).
Takahashi: Watashi ha isuramu kyo wo benkyou sitai desuga, osiete moraemasenka? (Saya ingin belajar agama Islam, dapatkah Anda mengajarkan kepada saya?)
Muhammad: Hai, mochiron. (ya, sudah tentu.)
Percakapan
pendek ini kemudian berlanjut menjadi pertemuan rutin yang dijadwalkan
oleh dua manusia ini untuk belajar dan mengajar agama Islam.
Setelah
beberapa bulan bersyahadat, Takahashi kian akrab dengan keluarga
Muhammad. Dia mulai menghindari makanan haram menurut hukum Islam.
Memilih
dengan hati-hati dan baik, mana yang boleh di makan dan mana yang tidak
boleh dimakan merupakan kelebihannya. Terkadang tidak sedikit, keluarga
Muhammad pun mendapatkan informasi makanan-makanan yang halal dan haram
dari Takahashi.
“Pizza wo tabenaide kudasai. cheese ni ra-do wo mazeterukara..
(Jangan makan pizza walau pun itu adalah cheese, karena di dalamnya ada
lard, lemak babi)”, nasihatnya di suatu hari. Takahashi mengetahui
informasi semacam ini karena memang kebiasaan tidak membeli pizza, atau
makanan produk warung di Jepang memang sudah terpelihara sebelumnya di
keluarga Muhammad.
Toko kecil makanan halal milik keluarga
Muhammad, menjadi tumpuan Takahashi dalam mendapatkan daging halal.
Suatu ketika Takahashi ingin makan daging ayam kesukaannya, tapi dia ngeri kalau melihat daging ayam bulat (whole)
mentah yang ada di plastik, dan tidak berani untuk memotongnya. Dengan
senang hati, Muhammad memotong ayam itu untuk Takahashi. Dia potong
bagian pahanya, sayapnya, dan badannya menjadi beberapa bagian.
Setiap
pekan, Takahashi terkadang memesan sosis halal untuk lauk, bekal makan
siang di kantor. Setiap pagi ibunya selalu menyediakan menu khusus
(baca: halal) untuk pergi ke kantor tempat dia bekerja. Sebagai ukuran
muallaf Jepang yang dibesarkan di negeri Sakura, luar biasa
kehati-hatian Takahashi dalam memilih makanan yang halal dan baik.
Terkadang Muhammad harus belajar dari Takahashi tentang keimanan yang
dia terapkan dalam kehidupan sehari-harinya.
Pernah dalam suatu
percakapan tentang suasana kerja, Takahashi menggambarkan bagaimana
terkadang sulitnya menjauhi budaya minuman sake di lingkungan tempat
kerjanya. Di Jepang, suasana keakraban hubungan antara atasan dan
bawahan atau teman bekerja memang ditunjukkan dengan saling memberikan
minuman sake ke gelas masing-masing.
Dalam kondisi hidup ber-Islam
yang sulit, Takahashi ternyata terus melakukan dakwah kepada ibunya.
Beberapa bulan kemudian akhirnya ibunya pun menjadi muallaf dengan nama
Qonita, nama pilihan Takahashi sendiri buat ibu yang dia cintainya.
Sampai saat ini, bagaimana dia mendapatkan nama itu, tidak ada seorang
pun yang tahu, kecuali Takahashi.
Beberapa bulan berlalu, pertemuan kecil-kecilan berlangsung …terlontar dari mulutnya suatu kalimat.
“Watashi ha kekkon simasu (Saya mau menikah)….”, ujarnya.
Dengan
proses yang panjang, akhirnya dia mendapatkan jodohnya, wanita Jepang
yang cantik, yang dia Islamkan sebelumnya. Setahun kemudian, suatu hari
Takahashi datang ke rumah Muhammad dengan istrinya yang berkerudung,
ikut serta juga buah hati mereka yang telah hadir di dunia ini.
Pada suatu hari, iseng-iseng Muhammad bertanya kepada Takahashi, “Apa yang menyebabkan Takahashi lebih tertarik dengan Islam?”
“Sebenarnya saya belajar juga Kristen, Budha dan Todoku (Agama moral) selain Islam,” Takahashi menjelaskan.
“Masih ingat dengan telepon kita dulu? Waktu pertama kali aku telepon ke Muhammad beberapa bulan dulu”, sambungnya.
“Iya ingat sekali”, jawab Muhammad.
“Kita waktu itu membuat perjanjian untuk bertemu di suatu tempat bukan?”, tanya Takahashi.
“Iya benar sekali”, sambung Muhammad lagi sambil mengingat-ingat kejadian saat itu.
“Saya
sungguh ingin mantap dengan Islam, karena Muhammad datang 5 menit lebih
dulu dari pada waktu yang kita janjikan, dan Muhammad datang terlebih
dahulu dari pada aku. Muhammad pun menungguku waktu itu”, jawab
Takahashi beruntun.
“Karena itu aku yakin, aku akan bersama dengan orang-orang yang akan memberikan kebaikan”, sambungnya lagi.
Jawaban Takahashi membuat Muhammad tertegun, Astaghfirullah sudah berapa kali menit-menitku terbuang percuma, gumam Muhammad.
Begitu
besar makna waktu 5 menit saat itu untuk sebuah hidayah dari Allah SWT.
Subhanallah, 5 menit selalu kita lalui dengan hal yang sama, akan
tetapi 5 menit waktu itu sungguh sangat berharga sekali bagi Takahashi.
Bagaimana dengan 5 menit yang terlewat barusan, milik Anda?
dakwatuna.com
Wednesday, 2 May 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)