Oleh Cahyadi Takariawan
Tulisan ini saya buat untuk menjadi bahan
bacaan awal, bagi para sahabat di Kuala Lumpur yang akan mengikuti acara
Talkshow “Yuk Bicara Cinta” di Aula Hasanuddin KBRI Kuala Lumpur, 1 Mei
2012. Sebenarnya isi tulisan ini sudah terpublikasikan di Kompasiana
dan di blog wonderful-family, namun dalam bentuk terpisah. Ini saya
posting dalam bentuk “semacam” makalah, agar saat saya hadir nanti sudah
lebih banyak bahan bisa didiskusikan secara langsung.
Benarkah pernikahan dan keluarga selalu
bermula dari cinta ? Harian Taiwan, Nanyang Siang Pau, Kamis
(08/03/2012) memberitakan, seorang wanita bernama Wang Xing Nvzai (27
tahun), mencatatkan pernikahannya dengan pemuda lajang Lee (23 tahun),
di kantor catatan sipil di Distrik Tanzi, Taiwan. Setelah pernikahan
disahkan pihak berwenang, Wang mengajak suaminya ke
sebuah showroom mobil. Wang meminta Lee membelikan mobil untuknya. Namun
reaksi Lee membuat kecewa Wang.
Lee menyatakan akan mempertimbangkan
permintaan Wang. Mendengar kata-kata suaminya itu, Wang pun kesal.
“Ceraikan saya jika kamu tidak mau membelikan mobil!” ungkap Wang kepada
Lee dengan ketus dan marah.
Mendengar ucapan istrinya, Lee pun emosi.
Mereka berdua kemudian kembali ke kantor catatan sipil yang baru saja
mereka tinggalkan sekitar satu jam yang lalu. Pasangan Wang dan Lee
mendaftarkan perceraian mereka. Peristiwa itu terjadi pada 6 Maret 2012
sempat menjadi bahan pembicaraan warga Taichung City, tempat tinggal
pasangan tersebut. Bahkan pihak kantor catatan sipil di Tanzi menyebut
ini sebagai pernikahan sah yang paling singkat di Taiwan.
Kita juga sering mendengar maraknya
perceraian di lingkungan artis dan selebritis. Pedangdut Cici Paramida
menikah dengan Suhaebi (alm), usia pernikahannya hanya 5 bulan. Artis
Kristina dinikahi Al Amin Nasution, tapi enam bulan setelah mengarungi
kehidupan pernikahan, Kristina melayangkan gugatan cerai. Demikian pula
kisah artis Desy Ratnasari yang menikah dengan Trenady Pramudya, dan
bercerai satu tahun setelahnya. Dewi Persik menikah dengan Aldi Taher
hanya bertahan kurang lebih 1 tahun.
Sebelum menikah mereka bilang cinta. Setelah menikah ternyata tidak bertahan lama. Ada apa dengan cinta, ada apa dengan mereka?
Nikah Tidak Cukup Dengan Kata Cinta
Ternyata, tidak cukup dengan kata cinta. Pada
contoh-contoh di atas, tampak ada kerapuhan dalam pondasi pernikahan.
Pondasi yang mereka bangun untuk menciptakan keluarga tidak cukup kokoh,
sehingga membuat kehidupan rumah tangga cepat goyah dan akhirnya roboh.
Pernikahan yang tidak dilandasi niatan suci untuk beribadah, untuk
menunaikan amanah Ketuhanan dan melaksanakan kewajiban kemanusiaan serta
peradaban. Pernikahan yang semata-mata dilakukan “karena ingin”, karena
mau, karena senang, karena syahwat….
Yang paling ekstrem adalah kisah pernikahan
Wang dan Lee di Taiwan. Mereka menikah hanya satu jam, dan belum sempat
melakukan “apa-apa” sebagai suami isteri. Karena seusai menikah di
kantor catatan sipil, Wang segera mengajak Lee ke showroom mobil dan
minta agar Lee membelikan mobil untuknya. Tidak dinyana, Lee memberikan
jawaban yang mengecewakan Wang, maka segera Wang melontarkan kekesalan
hatinya, yang akhirnya berujung ke perceraian.
Mengapa mereka menikah, jika hanya untuk bercerai satu jam setelahnya ? Padahal mereka mengobral kata cinta setiap detiknya…..
Penjelasan yang lebih bertanggung jawab
adalah melihat dari pondasi pernikahan mereka. Jika pernikahan dilandasi
dengan pondasi yang kokoh, pastilah akan membuat rumah tangga yang
terbentuk bertahan dan awet. Tidak akan mudah goyah oleh terpaan angin
dan badai, tidak akan mudah karam oleh dahsyatnya gelombang. Keluarga
akan mampu mengarungi samudera raya kehidupan yang penuh godaan,
rintangan, gangguan, dan tantangan.
Maka ketika memasuki gerbang pernikahan,
pondasi yang harus dibangun adalah kesadaran ibadah. Motivasi untuk
menunaikan amanah Ketuhanan, niat suci untuk melaksanakan tuntunan
Kanjeng Nabi, kehendak kuat untuk membangun peradaban kemanusiaan yang
berwibawa dan bermartabat. Tanpa motivasi yang kuat seperti itu, akan
memudahkan keluarga terhempas di tengah badai dan gelombang. Mudah
diterpa masalah dan tidak mampu bangkit setelah terjatuh.
Bagi yang sudah terlanjur membentuk keluarga
tanpa motivasi ibadah yang kuat, tidak ada hal yang terlambat. Anda bisa
memulai dari titik nol, yaitu membangun kesadaran ibadah itu sekarang.
Karena awal itu penting, namun lebih penting lagi menjaga selama
prosesnya. Maka penting untuk menanam motivasi sejak awal, yang lebih
penting lagi adalah menjaga kebaikan dalam kehidupan keseharian. Maka,
mulailah dari titik nol, dari sekarang. Bismillah.
Cinta Menghajatkan Kepastian dan Tanggung jawab
Allah menciptakan manusia, pada
saat yang sama memberikan perasaan, kecenderungan, dan ketertarikan
terhadap keindahan. Rasa kecenderungan dan ketertarikan ini adalah
sesuatu yang bersifat fitrah dan alamiah. Allah menggambarkan, “Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang
diinginkan, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang” (Ali Imran: 14).
Di antara fitrah manusia adalah memiliki ketertarikan terhadap pasangan jenisnya. Pada sisi yang lain, Allah telah memberikan tuntunan pernikahan
sebagai jalan resmi untuk menyalurkan fitrah ketertarikan terhadap
pasangan jenis tersebut. Di sinilah kebesaran dan kasih Allah
ditampakkan secara nyata kepada kita, dengan menciptakan manusia secara
berpasang-pasangan.
Akan tetapi sangat disayangkan bahwa banyak
manusia mengekspresikan rasa cinta dan ketertarikan terhadap pasangan
hidup dengan memenuhi semua keinginan nafsu syahwat mereka. Bermula dari
rasa ketertarikan, menguat menjadi cinta, ternyata berlanjut dan
berakhir dengan petaka. Ini adalah cinta yang dieksploitasi
secara tidak bertanggung jawab, yang akhirnya menghancurkan makna cinta
itu sendiri. Bukan kebaikan yang didapatkan, namun justru kerusakan
yang menjadi hasilnya.
Tidak cukup dengan obral janji, tebar pesona,
dan kata cinta. Yang diperlukan adalah kepastian dan tanggung jawab.
Akad nikah adalah sebentuk kepastian dan tanggung jawab. Akad nikah
adalah tanda cinta. Setelah hidup berumah tangga, masing-masing
menunaikan peran, melaksanakan kewajiban, memberikan yang terbaik untuk
pasangan, menjauhi segala yang tidak membahagiakan pasangan. Itulah
kepastian cinta dan tanggung jawab yang nyata. Bukan hanya janji, bukan
hanya mengumbar kata cinta. Tunjukkan cintamu dengan kepastian dan
tanggung jawab !
Keluarga Penuh Cinta
Setiap kali kita berbicara tentang cinta
dalam keluarga, selalu mengkaitkan dengan istilah sakinah, mawadah, wa
rahmah. Tiga kata yang acap diringkas dengan sebutan Keluarga Sakinah.
Sebagaimana diketahui, kata sakinah, mawadah dan rahmah itu diambil dari
firman Tuhan:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri (pasangan) dari jenismu
sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram (sakinah) kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih (mawadah) dan sayang (rahmah).
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berfikir” (Ar Rum : 21).
Kata sakinah berasal dari bahasa
Arab. Dalam bahasa Arab, kata sakinah mengandung makna tenang, tenteram,
damai, terhormat, aman, nyaman, merasa dilindungi, penuh kasih sayang,
dan memperoleh pembelaan. Dengan demikian keluarga sakinah berarti
keluarga yang semua anggotanya merasakan ketenangan, kedamaian,
keamanan, ketenteraman, perlindungan, kebahagiaan, keberkahan, dan
penghargaan.
Kata mawaddah juga berasal dari
bahasa Arab. Mawaddah adalah jenis cinta membara, perasaan cinta dan
kasih sayang yang menggebu kepada pasangan jenisnya. Mawaddah adalah
perasaan cinta yang muncul dengan dorongan nafsu kepada pasangan
jenisnya, atau muncul karena adanya sebab-sebab yang bercorak fisik.
Seperti cinta yang muncul karena kecantikan, ketampanan, kemolekan dan
kemulusan fisik, tubuh yang seksi; atau muncul karena harta benda,
kedudukan, pangkat, dan lain sebagainya.
Biasanya mawaddah muncul pada
pasangan muda atau pasangan yang baru menikah, dimana corak fisik masih
sangat kuat. Alasan-alasan fisik masih sangat dominan pada pasangan yang
baru menikah. Kontak fisik juga sangat kuat mewarnai pasangan muda.
Misalnya ketika seorang lelaki ditanya, “Mengapa anda menikah dengan
perempuan itu, bukan dengan yang lainnya?” Jika jawabannya adalah,
“Karena ia cantik, seksi, kulitnya bersih”, dan lain sebagainya yang
bercorak sebab fisik, itulah mawaddah.
Demikian pula ketika seorang perempuan
ditanya, “Mengapa anda menikah dengan lelaki itu, bukan dengan yang
lainnya ?” Jika jawabannya adalah, “Karena ia tampan, macho, kaya”, dan
lain sebagainya yang bercorak sebab fisik, itulah yang disebut mawaddah.
Rahmah berasal dari
bahasa Arab. yang berarti ampunan, anugerah, karunia, rahmat, belas
kasih, juga rejeki. Rahmah merupakan jenis cinta dan kasih sayang yang
lembut, terpancar dari kedalaman hati yang tulus, siap berkorban, siap
melindungi yang dicintai, tanpa pamrih “sebab”. Bisa dikatakan rahmah
adalah perasaan cinta dan kasih sayang yang sudah berada di luar
batas-batas sebab yang bercorak fisik.
Biasanya rahmah muncul pada pasangan yang
sudah lama berkeluarga, dimana tautan hati dan perasaan sudah sangat
kuat, saling membutuhkan, saling memberi, saling menerima, saling
memahami. Corak fisik sudah tidak dominan.
Misalnya seorang kakek yang berusia 80 tahun
hidup rukun, tenang dan harmonis dengan isterinya yang berusia 75 tahun.
Ketika ditanya, “Mengapa kakek masih mencintai nenek pada umur setua
ini?” Tidak mungkin dijawab dengan, “Karena nenekmu cantik, seksi,
genit”, dan seterusnya, karena si nenek sudah ompong dan kulitnya
berkeriput.
Demikian pula ketika nenek ditanya, “Mengapa
nenek masih mencintai kakek pada umur setua ini?” Tidak akan dijawab
dengan, “Karena kakekmu cakep, jantan, macho, perkasa”, dan lain
sebagainya; karena si kakek sudah udzur dan sering sakit-sakitan. Rasa
cinta dan kasih sayang antara kakek dan nenek itu bahkan sudah berada di
luar batas-batas sebab. Mereka tidak bisa menjelaskan lagi “mengapa dan
sebab apa” masih saling mencintai.
Keluarga sakinah memiliki suasana yang damai,
tenang, tenteram, aman, nyaman, sejuk, penuh cinta, kasih dan sayang.
Keluarga yang saling menerima, saling memberi, saling memahami, saling
membutuhkan. Keluarga yang saling menasihati, saling menjaga, saling
melindungi, saling berbaik sangka. Keluarga yang saling memaafkan,
saling mengalah, saling menguatkan dalam kebaikan, saling mencintai,
saling merindukan, saling mengasihi. Keluarga yang diliputi oleh suasana
jiwa penuh kesyukuran, terjauhkan dari penyelewengan dan kerusakan.
Semoga kita semua mendapatkan dan memiliki keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Keluarga yang dipenuhi cinta.