Thursday, 30 April 2015

Menjahit Laba dari Jualan Baju Muslim Khas India

0 comments
Bicara soal fesyen memang tak ada habisnya. Setiap saat selalu saja ada tren baru yang muncul di dunia fesyen. Biasanya tren itu tak jauh-jauh dari model dan motif yang lagi digemari. Nah, di Indonesia kini sedang tren pakaian India. Munculnya tren ini tak lepas dari menjamurnya tayangan film-film India di Indonesia.

Munculnya tren ini mendorong banyak orang untuk menjual baju khas India. Salah satu pemainnya adalah Diana. Perempuan 24 tahun ini sudah satu tahun ini berjualan pakaian khas India di kawasan Dubai Street, Thamrin City. "Tren pakaian india ini tidak terlepas dari film-film India. Biasanya pengunjung banyak mencari pakaian yang sering dipakai sama para pemeran film India di televisi," katanya kepada KONTAN.

Ia fokus menjual pakaian muslim corak India. Menurut Diana, pakaian India dimianti karena memiliki warna-warna cerah tapi kesannya tetap elegan. Ditambah lagi banyak border, payet, dan sulaman, sehingga menjadikan pakaian ini terlihat menarik.

Pakaian ini juga identik dengan berbagai macam motif-motif dan hiasan-hiasan bernuansa India. Kesannya yang mewah, membuat pakaian ini biasa dipakai untuk momen-momen tertentu, seperti Hari Raya Idul Fitri atau ke pesta. Bahan baku pakaian ini pun banyak memakai kain sutera, beludru, hingga katun.

Sejak muncul tren pakaian India, ia mengaku omzet yang didapatnya meningkat. Apalagi saat bulan Ramadan dan Lebaran. Dalam sebulan, ia bisa menjual minimal 20 potong lebih pakaian muslim India, dengan omzet sebesar Rp 30 juta per bulan.

Toko ini menjual berbagai jenis pakaian muslim India, mulai dari kaftan, anarkali, slim feet, tunik, dan dress. Semua pakaian ini berjenis long dress. Pakaian muslim India ini dibanderol mulai Rp 500.000 hingga Rp 1,8 juta per pakaian.

Diana mengaku, pakaian tersebut langsung didatangkan dari Bombay, India. Konsumen pakaian India ini beragam, mulai dari anak muda hingga ibu-ibu. Biasanya untuk kalangan ibu-ibu banyak yang mencari pakaian berjenis kaftan.

Sedangkan anak muda biasanya memilih pakaian jenis dress, anarkali, dan slim fit. "Yang paling laris saat ini adalah anarkali," ujarnya.

Pemain lainnya adalah Irfan. Pria keturunan india ini sudah lama berbisnis pakaian India. Awalnya ia berjualan di India, dan sejak satu tahun lalu ia memutuskan untuk pindah ke Indonesia.

Lewat brand Rawaj, ia menjual berbagai macam pakaian, sepatu, hingga aksesoris khas India. Ia mengaku, penjualannya meningkat seiring dengan pakaian India yang saat ini banyak dipamerkan di stasiun televisi. "Pakaian India sekarang sudah sering masuk televisi, jadi sudah terkenal," tuturnya.

Pakaian di tokonya dihargai mulai Rp 250.000 hingga Rp 1,5 juta. Dalam sebulan ia bisa menjual 100 potong dengan omzet Rp 50 juta per bulan.

Read more...

Cuci Mobil Tanpa Air yang Tanpa Modal Besar

0 comments
Aktivitas yang semakin padat menyebabkan banyak orang kesulitan mencari waktu untuk merawat kendaraan pribadinya. Padahal, kendaraan butuh perawatan, paling tidak dicuci agar penampilannya tetap oke.

Membawa kendaraan ke tempat pencucian mobil merupakan pilihan yang paling praktis bagi pemilik kendaraan yang sibuk. Tak heran bila bisnis jasa cuci mobil dan salon mobil tetap mekar. Sayangnya, bisnis ini tak begitu ramah lingkungan lantaran penggunaan air yang sangat besar. Untuk membersihkan sebuah mobil, air yang diperlukan bisa seratusan liter.

Kondisi ini memunculkan inovasi baru, yakni mencuci mobil tanpa air. Peran air digantikan oleh cairan yang disemprot pada permukaan bagian mobil, baik pada eksterior maupun interior. Mobil pun bisa tampil kinclong.

Salah satu pemain di usaha ini, Elihu Nugroho, mengatakan bahwa jasa cuci mobil tanpa air sudah lazim di negara-negara maju. Pasalnya, masyarakat mereka di sana sudah menyadari pentingnya menghemat air. Sementara masyarakat Indonesia belum terlalu paham mengenai krisis air yang mulai terjadi.

Dulu, Elihu berkecimpung di usaha salon mobil konvensional hingga menemukan inovasi cuci mobil tanpa air. Dus, sejak 2013, Elihu membuat produk yang bisa digunakan untuk mencuci mobil tanpa air. Elihu butuh waktu setahun sampai mendapat formula yang pas. Beberapa kali ia menemui kegagalan dalam membuat produk tersebut. “Ketika saya buat, cairannya sempat menimbulkan flek putih pada permukaan mobil. Saya coba terus hingga formulanya tepat,” ujar Elihu.

Baru pada Maret 2014, Elihu menemukan formula yang pas untuk cairan pembersih mobil tanpa air. Cairan itu diberi merek Valo. Saat itu, ia belum percaya diri menjual produknya. Dus, produk cairan tersebut dia gunakan untuk membersihkan mobilnya sendiri terlebih dahulu. Selain itu, beberapa temannya pun ikut mencoba menggunakan produk tersebut.

Ketika puas dengan hasil yang didapat, Elihu membuka outlet pencucian mobil tanpa air di Jakarta, September 2014, dengan nama Valo Car Care. Meski demikian, Valo juga menerima jasa cuci motor bahkan jetski. “Kami pernah diminta untuk membersihkan jetski karena pemiliknya kebingungan mencari produk yang tepat untuk membersihkan kendaraan yang terus-menerus ada di dalam air,” cetus dia.

Outlet tersebut sengaja didirikan dekat kawasan perkantoran dan apartemen. Dua bangunan ini jadi target Elihu. Banyak pengelola kantor dan apartemen yang tidak mengijinkan mobil yang parkir untuk dicuci. Pasalnya, penggunaan air membuat pengelola keluar biaya. Inilah celah yang dimanfaatkan oleh Elihu.

Untuk menggunakan jasa Valo man (sebutan untuk karyawan Valo Car Care), konsumen harus membayar biaya berkisar Rp 50.000–Rp 200.000 per mobil. Besaran biaya itu ditentukan oleh paket pencucian yang dipilih, antara lain cuci eksterior, interior, jamur dan kaca, serta cuci mesin mobil. Semakin banyak paket yang diambil, biaya pencucian tentu semakin besar.

Peluang yang sama juga ditangkap oleh Harijanto Ongko. Alih-alih menciptakan produk pembersih mobil, pria asal Surabaya ini mendatangkan waralaba cuci mobil asal Australia, Nowet Waterless Carclean.

Harijanto membawa lisensi Nowet pertama kali pada 2011. Saat itu bisa dikatakan, jasa cuci mobil tanpa air ini tergolong hal baru di dalam negeri. “Karena tanpa air, jasa ini bisa dilakukan di mana saja dan kami dapat menghampiri pelanggan,” ujarnya.

Dia bilang, mobil yang dipamerkan di pusat perbelanjaan kerap jadi kliennya. Lantaran tak mungkin mencuci mobil dalam mal, jasa cuci mobil tanpa air pun sangat dibutuhkan.

Banyak kelebihan

Inovasi cairan pembersih mobil tanpa air ini memang belum terlalu dikenal banyak orang. Padahal, banyak kelebihan yang ditonjolkan ketimbang mencuci air secara konvensional alias menggunakan air. Penghematan air dari cairan ini sangat signifikan.

Elihu bilang, untuk mencuci satu unit mobil, air bersih yang diperlukan bisa mencapai 300 liter. Di sisi lain, air bersih sebanyak itu bisa memenuhi kebutuhan konsumsi air minum seseorang sampai lima bulan. “Tidak banyak orang yang sadar akan kondisi ini,” ujar Elihu.

Dengan kata lain, usaha ini juga mendukung program ramah lingkungan. Ini jadi salah satu kelebihan jasa cuci mobil tanpa air. Elihu juga bilang, banyak jasa cuci mobil konvensional yang tutup karena kekurangan air bersih. “Banyak salon mobil yang tutup karena memang kebutuhan air sangat besar dan mereka tidak sanggup memenuhinya,” tandas dia.

Di samping itu, lantaran tak menggunakan air, merintis usaha jasa cuci mobil tanpa air ini pun lebih sederhana. Untuk memulai usaha, yang diperlukan adalah menyewa tempat usaha dan menyediakan produk cairan pembersih.

Bahkan, Elihu bilang, usaha ini bisa dilakukan di rumah alias tak perlu menyewa tempat. “Pemilik mobil tidak perlu mendatangi Valo, tapi Valo man yang akan mendatangi mobil konsumen untuk dicuci. Kami hanya perlu lokasi dan plat mobil,” ujarnya.

Ia melanjutkan, untuk membersihkan satu unit mobil, waktu yang diperlukan sekitar 15 menit hingga sejam, tergantung bagian yang dibersihkan. Adapun jumlah karyawan untuk membersihkan mobil tidak banyak. Jasa pencucian mobil tanpa air bisa dilakukan oleh satu orang saja.

Modal untuk merintis usaha ini jelas tidak sebesar jasa mobil konvensional. Ditambah, potensi balik modalnya pun lebih cepat. Elihu bilang, untuk membuka satu outlet Valo Car, modal yang diperlukan minimal Rp 30 juta. Modal itu digunakan untuk menyediakan produk, sewa tempat serta merekrut tenaga kerja.

Peluang kemitraan

Anda tertarik menjajal usaha ini? Bila tak mau repot-repot menciptakan produk baru, Anda bisa bergabung dengan kemitraan yang ditawarkan oleh Elihu dan Harijanto.

Sejak membawa Nowet Waterless Carclean masuk ke Indonesia, Harijanto langsung menawarkan waralaba. Saat ini, Nowet sudah punya enam outlet di Jakarta, Semarang, Batam, Surabaya dan Yogyakarta. "Satu gerai milik pusat, sisanya milik mitra," ujar dia.

Dalam kerjasama waralaba ini, Harijanto menawarkan dua paket investasi. Pertama, paket Nowet Express senilai Rp 100 juta. Paket ini hanya menawarkan jasa cuci mobil. Dari investasi sebesar itu, Rp 75 juta untuk biaya waralaba lima tahun, dan sisanya buat peralatan cuci seperti obat-obatan. Mitra tak perlu punya tempat usaha karena ini jasa panggilan.

Selanjutnya, paket Nowet Car Care senilai Rp 200 juta. Rinciannya, Rp 150 juta buat biaya waralaba lima tahun, dan sisanya buat membeli peralatan dan obat-obatan. Berbeda dengan paket pertama, mitra paket ini diwajibkan memiliki lokasi usaha untuk digunakan sebagai workshop. Soalnya, paket ini menawarkan empat macam perawatan mobil, seperti cuci mobil, salon mobil, auto detailing dan paint protection. Pelanggan usaha ini biasanya para anggota komunitas pecinta mobil dan korporasi.

Tarif jasa cuci mobil di tepat ini dibanderol mulai Rp 90.000 sampai Rp 145.000, tergantung jenis mobilnya. Sementara tarif lain, seperti paint protection seharga Rp 6 juta per mobil. Ia menargetkan, mitra paket Nowet Express bisa mengantongi omzet sebesar Rp 22,5 juta dengan margin sekitar 30%. Sementara mitra paket Nowet Car Care bisa meraup omzet sekitar Rp 38 juta per bulan dengan margin sama. "Rata-rata balik modal tiap-tiap paket diperkirakan 18 bulan," kata Harijanto.

Sementara itu, di bawah bendera PT Valo Indonesia Prima, Elihu menawarkan tiga paket kemitraan. Masing-masing mensyaratkan investasi senilai
Rp 30 juta, Rp 50 juta, dan
Rp 100 juta. Pembelian bahan baku rata-rata memakan biaya 30% dari total omzet. Di antaranya membeli produk kimia, semir ban, pembersih jamur, body waterless, dan engine cleaner.

Elihu menargetkan tiap outlet bisa mencuci minimal 110 mobil-300 mobil dalam satu bulan. Setelah dikurangi dengan biaya operasional, mitra diprediksi akan balik modal sekitar satu hingga dua tahun.

Elihu menambahkan, saat ini produk cairan untuk pembersih tanpa air bisa dihitung dengan jari. Untuk memudahkan, pemain baru bisa mengambil paket kemitraan yang ada. Akan tetapi, jika memang tak puas, Anda bisa coba membuat produk sendiri. "Kalau ada produk sendiri, potensi usahanya tentu lebih besar karena akan dicari-cari," katanya.

Persaingan pada jenis usaha ini memang belum terlihat. Dus, Elihu bilang, peluang usahanya masih sangat menggiurkan. Sebagai salah satu pelopor usaha mencuci mobil tanpa air, Elihu bilang kesulitan yang ditemui adalah meyakinkan pengguna jasa yang dibidik.

Menurut pengamatan Elihu, kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga ketersediaan air bersih masih sangat kurang. Di mata masyarakat, produk ini belum dianggap sebagai solusi. Masyarakat juga masih curiga produk ini bisa menimbulkan baret pada permukaan kendaraan karena hanya disemprot lalu dilap.

Sebagai bentuk edukasi, Elihu sering mengadakan demo cuci mobil tanpa air. Dengan demikian, masyarakat bisa melihat langsung kelebihan produk ini dibandingkan pembersih yang biasa digunakan pada jasa cuci mobil konvensional.

Rahasia dapur tidak dijual bebas

Jasa cuci mobil tanpa air menjadi solusi ketika kendaraan harus tampil mengkilap, namun air sulit diperoleh. Sayangnya, cairan pengganti air ini tidak dijual secara ritel di pasar bebas. Untuk bisa mengaplikasikan cairan pembersih ini pada mobil, Anda harus memanggil jasa cuci mobil tanpa air ini.

Elihu Nugraha, pendiri Valo Car Care, mengatakan produk ini memang sengaja tidak dijual secara umum. Sejak awal, ia mengembangkan usahanya dengan cara menjalin kemitraan. Total gerai milik mitra ada 14. Lokasinya di Jakarta, Tangerang, Bandung, Surabaya, Palembang, Lampung, Manado, dan Palu.

Ada beberapa pertimbangan Elihu. Pertama, penggunaan produknya tidak semudah yang dibayangkan. Cairan pembersih tak bisa sembarang diaplikasikan. “Untuk membersihkannya harus menggunakan kain microfiber dan ada teknik tertentu agar tidak merusak lapisan cat mobil,” ujar dia.

Walau jika diperhatikan, proses mencuci tanpa air ini tak terlalu sulit. Tahap pertama ialah menyemprotkan cairan pembersih pada permukaan mobil yang kotor. Setelah disemprot, jangan terlalu tergesa-gesa untuk menyekanya dengan lap. Tunggu beberapa detik agar cairan benar-benar menempel pada bodi mobil. Bila sudah tampak bersih, gosoklah permukaan mobil dengan menggunakan kain microfiber. Hindari kain lap biasa karena akan merusak permukaan mobil. Membersihkan bodi mobil mungkin tampak mudah, tapi untuk membersihkan bagian lain terutama mesin cukup sulit sehingga sebaiknya diserahkan pada karyawan yang ahli.

Formula pada cairan pembersih bisa mengikat debu kotoran dan mengangkatnya dari permukaan mobil. Adapun kandungan carbona wax bisa melapisi permukaan mobil. "Kalaupun hujan, mobil bisa tetap mengkilap," kata Elihu. Selain itu, dengan membuka outlet, ia bisa menciptakan lapangan pekerjaan. Karyawan Valo Car Care harus mengikuti pelatihan selama dua hari untuk bisa mengaplikasikan cairan pembersih.

Pertimbangan lain ialah, saat ini jarang sekali orang yang punya waktu untuk mencuci mobilnya sendiri. Waktu untuk mencuci mobil kerap digunakan untuk aktivitas lain. “Kalau dijual di toko, mungkin banyak yang beli, tapi belum tentu mereka mengaplikasikannya dengan benar. Lebih parah lagi, belum tentu produk saya ini benar-benar digunakan,” ucap dia.

Read more...

Zulqarnain Mencetak Untung dari Pengalaman

0 comments
Pengalaman sehari-hari sering mendatangkan inspirasi untuk berbisnis. Seperti Mukhammad Zulqarnain Agus Rosano yang memperoleh ide untuk merintis clothing custom dari kesulitannya mencari celana yang sesuai dengan ukuran tubuhnya yang di atas rata-rata.

Berkaca dari pengalamannya, Zul, panggilan akrabnya, yakin banyak orang yang mengalami masalah serupa. Lantas, dia memberanikan diri terjun ke bisnis ini, setelah mengalami kegagalan berbisnis camilan.

Sejak kuliah, Zul memang telah menetapkan diri menjadi pengusaha.Pertama, dia beralasan ingin punya banyak waktu untuk keluarganya kelak. “Tidak seperti saya yang kurang kasih sayang karena selalu ditinggal orangtua bekerja,” kenang dia. Kedua, dia ingin menikmati masa pensiun di usia 30 tahun. Tak heran, ketika menjejakkan kakinya di Kota Kembang, Zul langsung mengendus peluang bisnis yang ada.

Saat itu, sekitar tahun 2010, camilan seperti Ma Icih tengah jadi tren. Zul pun ikut mencicipi gurih bisnis camilan dengan menjual stik keju. Sayang, meski mampu menorehkan omzet hingga Rp 60 juta per bulan, pria yang masih kuliah di Universitas Padjadjaran Bandung ini terpaksa mengakhiri bisnis camilannya setelah berjalan setahun. “Saya bangkrut dan merugi, karena ada kesalahan pengelolaan,” ujar Zul. Dia salah memberikan kepercayaan ke orang yang belum kompeten.

Dia ingat, saat itu, uangnya benar-benar habis, hingga terusir dari kamar kos karena tak sanggup membayar. Zul pun akhirnya menyerah dan kembali ke kampungnya di Banyuwangi, Jawa Timur.

Tak butuh waktu lama, semangatnya berbisnis tersulut lagi setelah mendengar nasihat dari orangtuanya. Pertengahan 2012, ide berbisnis clothing custom segera muncul, karena menurut dia, usaha ini tidak butuh modal samasekali. Pria 24 tahun ini menawarkan pembuatan celana sesuai dengan pesanan kepada teman-temannya. “Saya mengumpulkan foto-foto dari Google dan menawarkan celana secara door to door saat itu,” kenang Zul. Kemudian, ia menjahitkan pesanan celana custom ini kepada penjahit di kawasan Pasar Baru, Bandung.

Berbagai lini bisnis

Kegagalan di bisnis camilan menjadi pelajaran berharga bagi Zul. Salah satu pelajaran adalah dia tidak menggunakan keuntungan dari berbisnis untuk kepentingan pribadi. Uang itu ia alokasikan untuk memperbesar bisnisnya. “Uang itu juga saya pakai untuk berpromosi,” kata Zul.

Lantaran fokus membangun usaha, bisnis clothing custom milik Zul kian berkembang. Apalagi, saat itu, belum ada kompetitor. “Ini sesuatu yang baru, orang bisa memilih apa yang menjadi keinginannya, baru diproduksi,” terang Zul. Produk Iwearzul mengincar pasar pada rentang usia 21 tahun hingga 27 tahun.

Permasalahan mulai muncul pada 2014, karena manajemen produksi yang belum rapi. Zul pun sempat berpikir untuk menyerah. Pasalnya, tidak seperti perusahaan garmen yang bisa sekali produksi lalu dijual, produksi clothing custom ini terus berjalan seiring dengan datangnya pesanan. “Ibarat dapur, kita harus ngebul terus,” tegas Zul. Alhasil, dia harus berhitung produksi dengan tepat, baik soal pasokan kain hingga tenaga kerja, supaya tak merugi.

Dari situlah, Zul lantas mencoba berbagai sistem produksi dan mengujinya satu per satu. “Memang ada perusahaan yang menawarkan standar dan prosedur, tapi kami perlu menciptakan sistem sendiri, karena kami yang menjalani bisnis ini,” ungkap Zul.

Butuh waktu delapan bulan, hingga akhirnya Iwearzul menemukan sistem monitoring secara menyeluruh pada produksi. “Dengan sistem ini, kami bisa memantau semua yang terjadi, karena di setiap bagian terhubung jaringan komputer,” kata Zul.

Sistem baru ini pula yang membuat bisnis Zul dapat berputar kencang. “Produksi sudah aman, giliran fokus ke marketing. Kami terima order berapa pun,” cetus Zul. Dua bulan terakhir tahun 2014, omzet Iwearzul berlipat hingga ratusan juta rupiah. Bahkan, selama tiga bulan pertama 2015, Zul mencetak omzet berkisar
Rp 400 juta saban bulan.

Iwearzul melayani pesanan celana, jaket, dan kemeja. Meski custom, konsumen tak bisa memesan model seperti keinginannya, karena Zul sudah menyiapkan sejumlah desain untuk ketiga produk itu. “Desain ini menjadi guideline bagi kami, karena kami juga harus berpikir soal imaji brand Iwearzul,” jelas Zul. Tiap tiga bulan, Iwearzul meluncurkan desain baru untuk setiap produk.

Kecepatan proses produksi menjadi salah satu kelebihan Iwearzul. Zul bilang, pembuatan celana dan lainnya bisa diselesaikan dalam tiga hari hingga enam hari. Selain itu, dia juga memberi garansi uang kembali jika produk mengecewakan. Layanan Iwearzul lewat website pun diberikan selama 24 jam.

Dalam berbisnis, Zul selalu membuat rencana yang matang dan eksekusi sebaik mungkin. Oleh karena itu, dia tak berhenti pada bisnis clothing custom ini. Dia mendirikan Zul Group yang akan menjadi holding dari sejumlah usahanya kelak.

Berbeda dengan pengusaha lainnya yang mungkin hanya fokus pada satu bidang, Zul justru menjalankan berbagai lini bisnis. Dua bulan ini, dia menggeluti bisnis parfum, Zule Parfum. “Bisnis itu tidak ada yang gampang, semua harus dipelajari,” kata Zul. Di bisnis parfum ini dia juga belajar dari awal, mulai dari mengenal berbagai bahan kimia hingga menciptakan aroma wewangian yang sesuai selera pasar.

Selanjutnya, Zul juga terjun di bisnis jasa logistik dengan meluncurkan ZHDS alias Zul Home Delivery Servis. ZHDS merupakan layanan antar untuk berbagai kuliner di Bandung. Zul juga mendirikan usaha garmen yang melayani pesanan korporasi. Ke depan, Zul berencana untuk membuat restoran, hotel dan bisnis tour and travel di Bandung. 

Belajar dari pemilik Virgin

Menjadi pengusaha sebenarnya bukan mimpi Mukhammad Zulqarnain Agus Rosano saat belia. Cita-citanya dulu adalah menjadi arsitek atau insinyur teknik lain.

Namun, haluan hidupnya berubah ketika dia merasa kesibukan bekerja menghalangi orangtuanya memberikan perhatian. “Saya merasa kurang kasih sayang karena jarang bertemu,” kenang suami dari Inna Susanti.

Selanjutnya, dalam perjalanan bisnis, Zul banyak mendapat inspirasi dari pebisnis dunia, Richard Branson, pengusaha asal Inggris yang mendirikan Virgin Group. Belajar dari pebisnis yang memiliki lebih dari 400 usaha ini, Zul mengembangkan berbagai lini bisnis dalam Zul Group. “Saya belajar seperti Branson yang tak fokus hanya ke satu bidang bisnis saja,” cetus Zul.

Setiap mengembangkan bisnis baru, Zul terlebih dahulu melihat kemantapan bisnis lamanya. Karena, dia akan menyerahkan bisnis tersebut pada orang kepercayaannya. Seperti Iwearzul, yang sudah ia serahkan ke salah seorang direkturnya. “Nah, untuk terjun di usaha baru, saya harus fokus di sana selama enam bulan untuk memastikan bisnis berjalan lancar,” ungkap dia.

Demikian juga untuk menciptakan suasana yang nyaman di kantornya. Zul juga mengadopsi suasana kantor Google. “Saya ingin semua karyawan betah bekerja di kantor. Jadi saya membuat kantor ini senyaman mungkin,” ujar pria kelahiran 7 Agustus 1991 ini.

Di kantornya, Zul menyediakan ruang-ruang untuk hiburan dan relaksasi yang bisa dinikmati 40 karyawannya. Dia juga membangun meja bar, taman, dan ruang hiburan karena sebagian besar karyawannya adalah anak-anak muda. “Mereka biasa bekerja hingga malam di sini,” ujar Zul yang berencana membangun kantor Zul Group pada 2016 nanti.

Read more...

Jalan Panjang Nafi Memasarkan Boiler

0 comments
Bisnis bukan tak mungkin berawal dari niat membantu. Nafi Rasyid yang memiliki usaha pembuatan ketel uap (boiler) sudah membuktikannya. Ia tertarik mengembangkan boiler karena ingin membantu roda bisnis pengusaha kecil dan menengah (UKM).

Perjumpaan Nafi dengan para wirausaha kelas tanggung ke bawah itu terjadi saat ia berstatus mahasiswa Teknik Mesin. Institut Teknologi Bandung (ITB), tempat Nafi menuntut ilmu, pernah menggelar program menciptakan alat semacam itu yang menggunakan briket batubara sebagai bahan bakar.

Untuk bisa merancang alat semacam itu, Nafi pun blusukan ke sentra pembuatan tahu di Jawa Barat. Ia mengamati kebanyakan pengusaha kecil menengah belum mengenal boiler atau mesin penghasil uap. Padahal, mesin yang sudah dikenal sejak abad ke-17 ini, cocok untuk digunakan dalam berbagai proses produksi.

Namun di negara ini, cuma pengusaha skala besar yang bisa menikmati fungsi boiler. “Bagaimana industri kecil bisa bersaing kalau mereka tidak menyadari telah menggunakan bahan bakar lebih banyak 50%, dengan tidak menggunakan boiler,” ujar Nafi menjelaskan asal mula ketertarikannya mengembangkan boiler.

Para produsen tahu yang diamati Nafi menggunakan alat tradisional untuk memainkan peran seperti boiler. “Mereka membakar kayu yang uapnya ditahan dalam drum. Itu tidak efisien dan tak terjamin keamanannya,” kata Nafi.

Pada tahun 2007, Nafi mulai mengembangkan boiler. Awalnya, ia membuatboiler reguler, yang belum terlalu ideal untuk pengusaha kecil. “Agar bisa digunakan produsen kecil, saya merancang alat yang tahan banting, murah, dan butuh perawatan sederhana,” ujar dia.

Nafi menghabiskan waktu hingga dua bulan untuk membuat boiler pertamanya. Boiler itu dibeli pemilik pabrik tahu di Cicalengka, Jawa Barat.

Kendati punya awal yang baik, usaha Nafi ibarat berjalan di tempat. Banyak pebisnis UKM yang meragukan kegunaan boiler buatan Nafi. Apalagi, banderol harga yang dipasang Nafi lumayan tinggi untuk ukuran pengusaha kelas mini, sekitar Rp 45 juta. “Memang, harganya mahal. Tapi jika dihitung dengan penghematan yang diperoleh, UKM bisa balik modal dalam lima bulan,” tutur Nafi.

Namun Nafi juga tak menutup mata terhadap berbagai usulan. Selama hampir lima tahun, ia mengadakan riset merancang boiler yang lebih pas untuk pengusaha kelas bawah. Nafi juga tak bosan-bosan melakukan penyuluhan.

Tak tanggung-tanggung, ia mendatangi masyarakat dari rumah ke rumah. “Waktu di Garut, saya langsung masuk ke kampung-kampung. Di Bandung juga begitu,” tutur dia. Memang, fokus utama Nafi saat itu bukan penjualan, melainkan edukasi agar semakin banyak yang paham kegunaan boiler.

Mulai komersial

Di masa paceklik itu, Nafi sempat tergoda untuk pindah jalur, menjadi karyawan. Namun panggilan untuk membantu UKM ternyata lebih kuat dibandingkan dengan godaan untuk berkarier di perusahaan orang. “Saya menjadi optimistis ketika boiler yang saya buat berhasil mengembangkan sebuah UKM yang hampir bangkrut,” ujar dia. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) menebalkan keyakinan Nafi bahwa boiler merupakan solusi berhemat pengusaha kecil.

Pada 2012 ia mulai menggunakan stainless steel sebagai bahan boiler. Ia juga mendesain boiler buatannya dalam ukuran lebih kecil daripada boiler biasa. Ia juga membuat boiler dengan roda sehingga gampang dipindahkan (portabel).

Sistem pembakaran yang digunakan boiler mini memungkinkan penggunanya menghemat bahan bakar hingga 50%. Keunggulan lain boiler mini adalah bisa menggunakan berbagai bahan bakar yang mudah ditemukan, seperti kayu, batubara atau cangkang sawit.

Setahun kemudian, bisnis Nafi bergulir lancar. Boiler mini tak kesulitan mencari pembeli. Momen ini tak disia-siakan Nafi. Bersama sang istri, Ratna Yanti Kosasih, ia mendirikan PT Bumibraja Nusantara di Bandung, Jawa Barat. “Saya hanya bisa membuat, tapi tidak bisa menjual,” ucap Nafi. Ia mendelegasikan urusan bisnis ke sang istri dan rekannya, Adriansyah.

Kendati telah menggunakan bendera PT, Nafi tak mengubah misinya mendorong kemajuan UKM. Ia membuat program deposit bagi pengusaha kecil. “Kami meminjamkan boiler, tetapi mereka harus pesan bahan bakar dari kami,” kata dia.

Nafi masuk ke bisnis bahan bakar boiler, dua tahun lalu, juga untuk memenuhi permintaan pembeliboiler mini . Batubara yang disebut sebagai bahan bakar terbaik boiler, sulit diperoleh kebanyakan pembeli boiler Nafi. “Mereka tidak mau membeli boiler kalau tidak ada bahan bakar,” kata dia.

Permintaan bahan bakar dari pemilik boiler memperlihatkan tren peningkatan. Saat ini, Nafi bisa menjual 100 ton batubara saban bulan. Ia juga menjual 20 ton cangkang sawit. Cangkang ini juga bisa digunakan sebagai bahan bakar pada boiler.

Selama dua tahun ini, Nafi sudah menjual 60 unit boiler mini . Tahun lalu, Bumibraja Nusantara mencetak omzet Rp 1,9 miliar. Adapun pemasukan dari penjualan bahan bakar sekitar Rp 800 juta selama setahun.

Kini, Bumibraja Nusantara memproduksi boiler dalam tiga ukuran, yakni kecil, sedang, dan besar. Harga per unit berkisar Rp 45 juta-Rp 150 juta.

Usaha Nafi memang masih punya kendala. “Kalau jarak pembeli jauh dari Bandung, kami kesulitan melakukan perawatan atau perbaikan,” ujar dia. Pengguna boiler kini berasal usaha pembuatan tahu, kerupuk, jamur, kembang tahu, agar-agar, batik. Ada juga pebisnis restoran dan binatu.

Nafi tak serta merta puas dengan hasil yang telah ia capai. “Karena tujuannya untuk membantu, kami akan terus kembangkan usaha ini,” ujar dia.

Rajin ikut kompetisi

Kehadiran technopreneur atau wirausaha di bidang teknologi mulai terasa beberapa tahun terakhir. Naïf Rasyid mengakui, saat ini peluang sarjana untuk menggeluti dunia usaha terbuka lebar. Banyak pihak yang mendukung pengusaha berbasis teknologi ini melalui beragam kompetisi.

Dua lomba yang pernah diikuti Nafi adalah Yayasan Inovasi Teknologi (Inotek) dan Mandiri Young Technopreneur (MYT). Dari kedua kompetisi tersebut, boiler mini r buatan Nafi mendapat apresiasi positif. Di Inotek, ia berhasil mendapat dana hibah US$ 10.000 dan program inkubasi selama dua tahun. Baru-baru ini, ia juga diganjar gelar pemenang pertama kategori Non-digital dalam kompetisi MYT.

Nafi mengakui sempat menemui kendala ketika mengembangkan boiler mini sebagai produk komersial. “Saya ingin menciptakan produk dengan teknologi yang begitu canggih dan modern, tetapi ternyata tidak tepat sasaran. Customer inginnya model yang murah dan sederhana, tetapi berguna bagi mereka,” tutur dia.

Dus, ia sangat menghargai saat sang istri, Ratna Yanti Kosasih, mau bergabung dengannya mengembangkan boiler mini . Padahal Ratna sempat bekerja di perusahaan minyak ternama, Schlumberger, selama lima tahun. “Dia mau keluar dari pekerjaannya dan kami pun mulai fokus menjadikan ini sebagai usaha, bersama dengan teman saya yang lain, Adriansyah,” ucapnya.

Kendati pemiliknya punya relasi personal, Nafi menyatakan, PT Bumibraja Nusantara tetap dikelola secara profesional. Ketiga pemilik saham Bumibraja sudah menetapkan posisinya masing-masing sejak awal.

Ratna menjabat sebagai Direktur Utama, sedang Nafi menjadi Direktur Teknik. Adapun Adriansyah, yang tengah bekerja di luar negeri, kebagian peran sebagai Komisaris. “Konflik kecil pasti ada. Tetapi sejauh ini visi kami masih tetap sama. Dan setiap orang sudah mengetahui perannya masing-masing,” cetus Nafi.

Read more...

Mencetak Fulus dari Kemasan Makanan

0 comments
Seiring pesatnya pertumbuhan usaha kuliner, permintaan kemasan makanan terus mengalir. Prospeknya pun masih cerah pada tahun-tahun mendatang. Kalau tertarik, Anda kudu bermodal gede untuk membangun pabrik.

Kemasan menjadi unsur penting dalam sebuah produk. Pembungkus yang cantik dan unik, bisa mempengaruhi konsumen untuh menjatuhkan pilihan pada sebuah produk. Nilai jual pun bisa terdongkrak berkat kemasan.

Tak terkecuali pada produk kuliner. Bukan cuma sebagai pembungkus, kemasan bisa mengangkat citra sebuah produk kuliner. Sebab, pada kemasan, produsen bisa mencantumkan berbagai informasi, bahkan menjadi salah satu media promosi yang efektif.

Perkembangan usaha kuliner ikut membawa berkah bagi produsen kemasan, khususnya kemasan makanan. Apalagi, saat ini, makin banyak orang peduli akan gaya hidup sehat. Mereka pun menginginkan kemasan yang tak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. Kemasan kertas pun banyak dipakai oleh pengusaha kuliner, terutama mereka yang menyajikan jenis masakan siap saji.

Melihat potensi yang cukup besar pada usaha ini, Stanliy Hardjo menerima ajakan menjadi produsen kemasan. Sebelumnya, pria 42 tahun ini memang bekerja di perusahaan percetakan yang memproduksi kemasan. "Setelah sang owner melihat kemampuan saya, dia menawari saya untuk membuka usaha sendiri dan mengizinkan saya untuk membawa klien di perusahaan lama," kenang Stanliy.

Pada tahun 2002, dia mulai merintis Sinar Rejeki Printing Jaya. Dengan modal order yang berasal dari klien di perusahaan lama, Stanly membangun pabrik di kawasan Dadap, Tangerang. "Tapi, saya merintis usaha ini dari kecil," terang dia.

Sinar Rejeki Printing memproduksi sejumlah kemasan. Selain kemasan untuk makanan, perusahan juga membuat kemasan untuk berbagai produk, seperti fashion. Namun, yang paling besar adalah kemasan untuk makanan. "Hampir 80% kemasan yang kami produksi merupakan kemasan untuk makanan," ujar Stanliy.

Kemasan untuk makanan sendiri tersedia dalam jenis food grade dan non food grade. Kemasan food grade biasanya disebut bila kertas bahan baku kemasan tersebut tidak tembus air maupun minyak. "Karton putih dan ivory sudah bisa disebut food grade," jelas dia. Namun, biasanya, konsumen masih menginginkan pelapis lain sehingga makanan yang disimpan dalam kemasan tak rusak atau kemasan tak bocor.

Contoh kemasan makanan yang non food grade karton karton putih dengan warna abu-abu di baliknya. Oleh karena itu, biasanya, pengusaha kuliner yang menggunakan kemasan non food grade ini akan menambahkan kertas, daun atau plastik, sebelum mewadahi makanannya. "Kemasan seperti ini banyak dipakai untuk martabak," kata Stanliy.

Tentu saja, harga kemasan food grade lebih mahal. Stanliy menyebut harga kemasan jenis ini lebih mahal sekitar 30%. Meski begitu, para pelaku usaha kuliner cenderung menyukai jenis food grade.

Dalam sebulan, Sinar Rejeki Printing bisa memproduksi puluhan ribu hingga ratusan ribu lembar kemasan. Harga jual rata-rata kemasan tersebut berkisar Rp 1.000. "Tergantung ukuran, jumlah order, dan ketebalan kertas," kata Stanliy. Dia pernah menerima pesanan dengan harga Rp 25.000 per piece lantaran ukurannya besar.

Dia yakin prospek bisnis kemasan masih cerah, karena dunia kuliner terus berkembang. Saban tahun, order yang datang ke Sinar Rejeki Printing pun terus bertambah. Kini Stanliy mempekerjakan sekitar 30 orang di pabriknya.

Bukan cuma dari Jakarta, order yang datang ke Sinar Rejeki Printing juga datang dari luar Jawa, seperti Pontianak, Manado, dan berbagai kota besar lainnya. "Padahal, saya tak pernah promosi," ujar Stanliy.

Permintaan kemasan yang terus meningkat juga dirasakan Rico Arizona, pemilik Riscopack. Malah, menurut dia, order kemasan makanan sudah menanjak sejak 1989. Bahkan, dia pernah mengecap angka pertumbuhan mencapai 40% per tahun. "Usaha ini tak pernah mati selama masih ada produk yang harus dikemas," ujar Rico.

Sama seperti Sinar Rejeki Printing, Riscopack yang berbasis di Surabaya tidak cuma melayani pemesanan kemasan makanan, tetapi juga kemasan lain. Namun order terbesar Riscopack saat ini datang dari pebisnis kuliner. "Komposisi produksi kami, 80% untuk kemasan makanan, 20% untuk kemasan lain," ujar Rico. Dia menjual kemasan mulai dari harga Rp 400 hingga Rp 6.000 per lembar. Kapasitas produksi percetakan ini mencapai puluhan ribu per bulan.

Kunci sukses bukan cuma modal

Untuk terjun di usaha ini, bukan cuma modal duit yang diperlukan. Stanliy menuturkan, calon pengusaha harus benar-benar memiliki pemahaman soal bisnis percetakan, kemasan, serta target pasar yang akan dibidik.

Segendang sepenarian, Risco pun memberi syarat bagi pengusaha yang ingin terjun dalam usaha ini harus paham bisnis kemasan. Sebab, layaknya bisnis percetakan, volume memegang peran penting dalam bisnis ini. Dia menyarankan, agar pengusaha menjaring calon pelanggan terlebih dahulu, sebelum fokus ke usaha pembuatan kemasan makanan.

Modal order pula yang menjadi kekuatan Stanliy ketika membangun bisnis kemasan makanan 12 tahun silam. Dalam bisnisnya, Stanliy memilah order menjadi dua jenis. Yakni, order berdasarkan kontrak dan order biasa.

Untuk order yang bersifat kontrak, dia menetapkan masa kontrak minimal selama enam bulan. Stanliy pun akan menyediakan stok kemasan minimal untuk kebutuhan satu bulan di gudangnya.

Adapun order di luar kontrak, dia tetapkan dengan ketentuan minimal order sebanyak 5.000 pieces. Pada order jenis ini, dia tetap menyediakan stok tapi dengan jumlah yang terbatas.

Selain order, modal lain adalah kepercayaan. "Terutama kepercayaan dari pabrik kertas," kata Stanliy. Maklum, kertas yang menjadi bahan baku utama usaha ini menyedot biaya yang besar.

Sejatinya, untuk memulai tidak harus bermodal dana besar atau bahkan tanpa modal. Sebab, untuk menjaring konsumen, Anda bisa mencari rekanan percetakan. Stanliy sendiri menawarkan kesempatan bagi calon pengusaha yang ingin terjun ke bisnis kemasan dengan bergabung di perusahaannya. "Mereka bisa ikut menanam modal ke Sinar Printing sambil belajar soal bisnis dan produksi," kata dia.

Maklum, usaha pembuatan kemasan makanan ini juga memasang syarat pemahaman tentang produksi. Pada proses ini, kunci yang harus dikuasai adalah pengetahuan tentang mesin cetak. Asal tahu saja, bagian terbesar modal akan tersedot untuk pengadaan mesin.

Nah, ada tiga jenis mesin yang mutlak ada untuk membuat kemasan makanan. Masing-masing adalah mesin cetak, mesin pemotong, dan mesin lem. Untuk ketiga jenis mesin itu, Anda mempunyai dua pilihan: menggunakan mesin baru atau mesin bekas.

Stanliy menyebut harga mesin ini lumayan mahal. "Harga sebuah mesin cetak baru buatan Jerman bisa mencapai Rp 3 miliar," ujar dia. Sinar Rejeki menggunakan mesin-mesin ini karena kualitasnya benar-benar teruji.

Mesin sejenis yang dibuat di China harganya berkisar Rp 800 juta. Harga mesin lem buatan China berkisar Rp 600 juta–Rp 700 juta. Sedang harga mesin potong buatan China berkisar Rp 50 juta–Rp 60 juta.

Namun jika modal Anda terbatas, mesin bekas bisa jadi pilihan. Rico menuturkan, harga mesin cetak bekas buatan Jepang sekitar Rp 180 juta, harga mesin potong bekas buatan China berkisar Rp 30 juta, mesin pond bekas ukuran double folio buatan China adalah
Rp 25 juta dan alat pembuatan pisau pond Rp 33 juta.

Baik Rico maupun Stanliy menyarankan agar Anda memilih mesin buatan Jerman, atau setidaknya Jepang untuk mesin cetak. Sedang untuk mesin potong dan mesin lem dapat menggunakan mesin buatan China yang harganya lebih miring. Pilihnya mesin yang memiliki garansi perawatan, paling tidak selama 4 tahun.

Rico menuturkan pengalaman saat memulai Riscopack 1989 silam. "Kami hanya membeli mesin cetak ukuran folio buatan Klaten, Jawa Tengah di pasar loak, sedikit diperbaiki sehingga bisa dipakai dengan baik," kata Rico.

Bisa didatangi truk kontainer

Setelah urusan mesin kelar, agenda produksi berikut yang perlu dituntaskan pemain baru di bisnis ini adalah menyiapkan stok kertas. Penyediaan urusan ini, idealnya, dilakukan bersamaan dengan pencarian order. Menurut Risco, usaha kemasan tidak memliki kendala berarti dalam proses produksi. Tetapi, pemasaran memegang peran yang sangat penting demi kelangsungan usaha ini.

Stanliy menuturkan, kertas bahan baku kemasan mudah diperoleh dari pabrik-pabrik kertas di Indonesia. Biasanya, kertas ini dijual dalam bentuk lembaran yang sudah dipotong dalam ukuran tertentu. "Jadi, Anda bisa menyesuaikan dengan ukuran yang diinginkan," kata Stanliy. Harga kertas berkisar Rp 11.000-Rp 15.000 per kilogram. satuan kilogram.

Berkaitan dengan stok kertas ini, Anda juga harus mempertimbangkan lokasi pabrik. Stanliy bilang, pabrik sebaiknya berada di tepi jalan besar. Sebab, stok kertas ini biasanya datang langsung dalam jumlah besar. "Bisa truk-truk kontainer yang mengantar kertas ini. Jadi, jalan menuju pabrik sebaiknya bisa dilalui oleh truk besar," imbuh dia.

Setelah mengetahui perkiraan order, dan tentunya, estimasi bahan yang dibutuhkan, rancanglah secara cermat stok kertas yang perlu dibeli. Perhitungan cermat ini perlu karena bahan kemasan food grade tidak bisa dibeli dalam jumlah sedikit.

Ingat pula, Stanliy bilang,
bahan baku kertas setidaknya menyedot 70% dari harga kemasan. Sisanya, merupakan biaya untuk pembelian tinta, tenaga kerja dan operasional lainnya.

Oh, iya, sebaiknya Anda juga menguasai soal desain kemasan. Sebab, adakalanya konsumen akan meminta bantuan jasa desain kemasan karena kesibukan mereka.

Tertarik mencoba?

Read more...

Label

 
Wong Leces © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

Man Jadda Wajada. Siapa yang Bersungguh-sungguh Akan Berhasil