Jakarta - Fenomena serangan ulat bulu di permukiman dan lahan pertanian desa-desa di Probolinggo, Jawa Timur, mengindikasikan terganggunya keseimbangan ekosistem setempat. Pola tanam monokultur, hilangnya predator dan parasit, serta cuaca ekstrem menyebabkan populasi herbivora itu tak terkontrol.
Demikian disampaikan Kepala Pusat Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Nuramaliati Prijono dan ahli serangga LIPI, Hari Sutrisno, serta Asisten Deputi Kehati dan Pengendalian Kerusakan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup Antung Deddy Radiansyah, Selasa (29/3).
Siti, yang juga ahli burung, menjelaskan, penebangan pohon dan perburuan burung menjadi salah satu sebab jumlah burung pemakan ulat berkurang. Dampaknya adalah populasi ulat tidak mengalami tekanan alami.
Selain itu, ledakan populasi ulat juga bisa dipicu kondisi cuaca. Saat kondisi panas, kupu-kupu bertelur hingga ratusan butir. Saat hujan, telur tersebut menetas bersama-sama.
Hari Sutrisno menjelaskan, cuaca panas mendorong makhluk hidup melepaskan karbon dioksida dalam jumlah lebih besar. Karbon dioksida yang melimpah merangsang tanaman giat berfotosintesis. Ulat meresponnya dengan menambah porsi makan.
Hari menyebut parasit ulat, yaitu lebah tabuhan, dapat mengontrol laju populasi ulat. Saat ini, populasi lebah kecil tersebut jauh berkurang karena ekosistemnya tertekan pertanian intensif.
Lebah pengisap madu di rumput liar itu mati karena penggunaan pestisida antihama. ”Ini konsekuensi manusia yang tidak menjaga keseimbangan ekosistem,” katanya.
Kontrol lebah tabuhan terhadap ulat bulu, menurut Hari, lebih efisien dibandingkan dengan hewan predator burung, yang memiliki sifat pemilih makanan. Keberadaan bulu-bulu pada ulat mengurangi selera makan burung.
Hari menjelaskan, ciri berbulu pada ulat yang menyerang desa di Probolinggo menunjukkan spesiesnya dari famili Lymantriidae. Bulu ulat menyebabkan iritasi pada permukaan kulit luar karena kandungan biokimia pada bagian ujungnya. Ini menyebabkan rasa gatal dan panas.
Terkait penanganan ledakan ulat, Hari menyarankan petugas hati-hati saat menggunakan pestisida berbahan kimia. Ia khawatir pestisida juga mematikan serangga lainnya.
Antung Deddy belum banyak mendapatkan informasi dan laporan kasus ledakan populasi ulat itu. Namun, ia memprediksi salah satu penyebabnya pola tanam monokultur.
Pola tanam itu menurunkan keanekaragaman hayati lingkungan. Dampaknya, hewan/tanaman pengendali spesies tertentu musnah.
Antung menyarankan pola tanam dikembalikan ke heterogen. ”Tanaman heterogen lebih tahan serangan hama daripada monokultur,” katanya.
www.kompas.com