Menurut Said Hawwa sebagaimana dikutip oleh Muhammad Herry, hanya ada satu prosedur legal pengangkatan khalifah, yaitu dengan pemilihan yang dilakukan oleh para tokoh yang mewakili umat (ahlul halli wal ‘aqdi) dan kesanggupan yang dinyatakan oleh orang-orang yang dipilih untuk menjadi khalifah. Inilah yang disebut kontrak sosial. Dan kontrak sosial tidak akan sempurna kecuali dengan al-ijab (penyerahan tanggung jawab) dan al-qabul (penerimaan tanggung jawab).
Al-ijab dilakukan oleh ahlul halli wal ‘aqdi yang merupakan proses pemilihan khalifah. Sedangkan al-qabul datang dari pihak orang yang terpilih untuk menjadi khalifah.
Inilah yang terjadi di zaman Khulafa Rasyidin, zaman setelah wafatnya Rasulullah saw… Untuk itu marilah kita telusuri secara singkat sejarah terpilihnya empat khalifah pasca Nabi Muhammad saw.
Abu Bakar ash-Shiddiq RA
Pasca meninggalnya Rasulullah SAW, kaum Anshar (penduduk asli Madinah), berkumpul di Saqifah bani Saa’idah. Bukan sekadar berkumpul, tapi mereka sedang mendulang dukungan kepada Sa’ad bin Ubaidah RA sebagai pimpinan, menggantikan Nabi. Peristiwa tersebut didengar oleh Umar bin Khaththab. Umar lalu memberitahukan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq. Lalu, Umar dan Abu Bakar mengajak Abu Ubaidah RA menuju ke Saqifah bani Saa’idah.
Sesampainya di sana, jumlah umat semakin banyak, dan di depan umat itulah Abu Bakar berpidato agar umat memilih Umar atau Abu Ubaidah. Tapi keduanya menolaknya. Bahkan Umar dan Abu Ubaidah bersepakat untuk membaiat Abu Bakar. Belum juga mereka menjabat tangan Abu Bakar, Basyir bin Sa’ad yang berasal dari kaum Anshar, menjabat tangan Abu Bakar dan langsung membaiatnya. Dari sini lalu khalayak membaiat Abu Bakar, baik dari kalangan Anshar, Muhajirin, dan tokoh Islam lainnya. Abu Bakar tidak lagi sanggup menolak amanah yang diberikan umat kepadanya.
Umar bin Khaththab RA
Tatkala Abu Bakar ash-Shiddiq merasakan ajalnya sudah dekat, ia mengundang para sahabat untuk membahas siapa penggantinya. Abu Bakar juga menulis surat yang ditujukan kepada khalayak, yang menjelaskan atas apa pilihannya itu. Abu Bakar menjatuhkan pilihannya kepada Umar bin Khaththab. “Tapi, kepada para sahabat, Abu Bakar berkata, ‘Saya menjatuhkan pilihan kepada Umar, tapi Umar bebas menentukan sikap’.”
Rupanya, umat juga bersetuju dengan Abu Bakar. Lalu, kepada Umar, Abu Bakar berpesan, “Sepeninggalku nanti, aku mengangkatmu sebagai penggantiku…” ucap Abu Bakar pada Umar bin Khaththab.
“Aku sama sekali tak memerlukan jabatan khalifah itu,” Umar menolak.
Tapi, atas desakan Abu Bakar dan dengan argumentasi yang membawa misi Ilahi, Umar luluh dan menerimanya. Sepeninggal Abu Bakar, ketika Umar dilantik jadi khalifah, ia justru menangis. Orang-orang pun bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, mengapa engkau menangis menerima jabatan ini?”
“Aku ini keras, banyak orang yang takut padaku. Kalau aku nanti salah, lalu siapa yang berani mengingatkan?”
Tiba-tiba, muncullah seorang Arab Badui dengan menghunus pedangnya, seraya berkata, “Aku, akulah yang mengingatkanmu dengan pedang ini.”
“Alhamdulillah,” puji Umar pada Ilahi, karena masih ada orang yang mau dan berani mengingatkannya bila ia melakukan kesalahan.
Utsman bin Affan RA
Sebagaimana tersebut dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Umar tidak mau menunjuk penggantinya. Kepada para sahabat, dia berpesan, “Hendaklah kalian meminta pertimbangan pada sekelompok orang yang oleh Rasulullah SAW pernah disebut sebagai calon penghuni surga. Mereka adalah Ali bin Abi Thalib RA, Utsman bin Affan RA, Abdurrahman bin Auf RA, Zubair bin al-Awwam RA, Sa’ad bin Abi Waqqash RA dan Thalhah bin Sa’ad Ubaidillah RA.
Hendaklah engkau memilih salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin. Dan bila sudah terpilih, maka dukunglah dan bantulah pemimpin itu dengan baik.”
Ketika Umar meninggal dunia, para sahabat berkumpul di rumah Aisyah RA, kecuali Thalhah yang sedang berada di luar kota. Mereka pun bermusyawarah, siapa sebaiknya yang patut menggantikan Umar. Di tengah membicarakan mekanismenya, Abdurrahman angkat bicara, “Siapa di antara kalian yang mengundurkan diri dari pencalonan ini, maka dia berhak menentukan siapa pengganti Khalifah Umar.” Tak seorang pun yang berkomentar. Maka, Abdurrahman berinisiatif mengundurkan diri. Yang lain berjanji akan tetap bersama Abdurrahman, dan menerima apa yang akan diputuskannya.
Meski sudah mendapat mandat dari para calon ahli surga, Abdurrahman tak mau gegabah untuk memutuskan siapa yang mesti dipilih sebagai khalifah. Selama tiga hari tiga malam Abdurrahman mendatangi berbagai komponen masyarakat untuk didengar aspirasinya.
Pada hari ketiga, barulah Abdurrahman memutuskan Utsman sebagai pengganti Umar. Abdurrahman membaiat Utsman, diikuti oleh para sahabat lainnya, termasuk mereka yang disebut-sebut oleh Rasulullah SAW sebagai ahli surga.
Ali bin Abi Thalib RA
Akhir hayat Utsman juga sama dengan yang dialami oleh Umar bin Khaththab, dibunuh oleh seseorang yang tak menyukai Islam terus berjaya. Sepeninggal Utsman, Ali didatangi oleh kaum Anshar dan Muhajirin. Mereka bersepakat untuk membaiat Ali. Tapi Ali menolaknya, karena ia memang tidak berambisi untuk menduduki jabatan duniawi. Tak ada pilihan, tak ada tokoh sekaliber dia. Umat pun terus mendesak. Akhirnya Ali luluh, dan berucap, “Baiklah, kalau begitu kita lakukan di masjid saja.” Dan Ali, dibaiat di dalam masjid.
Wallahu a’lam.