Sejumlah ilmuwan muda yang sudah mapan di Jakarta turun
gunung ke pelosok Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Mereka sedang merajut mimpi
untuk mewujudkan sebuah kampus teknologi di Indonesia bagian timur yang
berkualitas global.
Laporan Taufik Lamade,
SUMBAWA
Mereka bisa dibilang nekat. Universitas Teknologi Sumbawa
(UTS) yang mereka dirikan itu berlokasi di kaki bukit Olat Maras, Desa
Batualang, yang berjarak sekitar 20 kilometer dari Kota Sumbawa Besar.
Tidak semua aksesnya mulus. Tiga
kilometer merupakan ’’jalan setapak’’ untuk mobil. Itu pun hanya mampu
dilintasi satu mobil. Hujan rintik bisa membuat mobil selip terjebak lumpur.
Ketika pertama ke UTS, mobil yang
ditumpangi Jawa Pos (grup Radar Lampung) sempat terhenti di tengah jalan.
Gara-garanya, mobil di depan terperosok di jalan ’’one way’’ itu. Mobil
baru bergerak setelah didorong warga lokal.
’’Jalan setapak’’ itu bukan
rintangan bagi Dr. Nurul Taufiqurochman (43). Doktor bidang metalurgi lulusan
Kagoshima University, Jepang, itu justru melihat kampus di kaki bukit tersebut
sebagai ’’mainan’’ yang penuh pesona. Yang ada di kepalanya adalah
bagaimana dalam waktu secepatnya kampus itu menjadi pusat riset aplikatif.
’’Kalau sekadar menjadi dosen,
saya tak akan ke sini (Sumbawa). Tawaran yang meminta saya mengajar di Jakarta
di mana-mana. Saya ke sini karena ingin mengajari mahasiswa menciptakan
teknologi yang bermanfaat,’’ tegas pemegang 14 paten yang terdaftar di Jepang
itu saat ditemui di kampus UTS, Sabtu (16/3).
Konsekuensinya, ilmuwan asli Malang
itu mau tidak mau harus bolak-balik Jakarta–Sumbawa. Sebab, tugasnya di Jakarta
segudang. Di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), misalnya. Selain
peneliti senior, Nurul menjadi kepala Sarana Penelitian Riset Metalurgi.
Dia juga menjabat ketua Pembina
Nano Center Indonesia yang bergerak di berbagai riset. Hebatnya, meski
kesibukannya seperti itu, dia masih menyediakan sebagian waktu untuk membidani
berdirinya UTS yang terletak ribuan kilometer dari Jakarta.
Nurul menyebut UTS sebagai kampus
di balik hutan. Maklum, lokasinya cukup jauh dari permukiman penduduk.
Sepanjang mata memandang, hanya kehijauan bukit yang terlihat. Namun, dia
senang berada jauh dari hingar-bingar keramaian karena kondisi itu sangat cocok
bagi UTS sebagai pusat riset aplikasi.
Di kampus baru itu, Nurul menjadi
advisor rector. Peran dan sentuhan pemegang dua gelar doktor itu metalurgi dari
Kagoshima University dan manajemen bisnis IPB sangat terasa.
’’Saya ingin mahasiswa di sini
sekaligus memanfaatkan penelitian aplikatif. Bila perlu, mereka sekolah
langsung mendapatkan uang,’’ ujarnya bersemangat.
Radiyum Ikono juga sudah menyatu
dengan ’’jalan setapak’’ menuju kampus UTS itu. Ilmuwan belia berumur 25
tahun itu dipercaya menjabat dekan fakultas teknik. Usia boleh muda, tapi
kapasitas keilmuannya jangan diragukan. Ikono yang meraih master ilmu bahan
dari Tsukuba University, Jepang, itu sangat yakin UTS kelak menjadi pusat riset
aplikasi.
’’Saya ingin mahasiswa di sini
lebih banyak praktik di lapangan. Sumbawa ini kaya emas, mangan, dan tembaga.
Saya kira mahasiswa langsung bisa mengelolanya,’’ ujar pria yang pernah kuliah
di Nanyang Technological University, Singapura, itu.
Karena itu, ketika datang tawaran
bergabung dengan UTS, dia langsung menjawab: ya! Dia merasa tertantang,
walaupun tantangan itu berada di kawasan terpencil.
Ide pendirian UTS berasal dari Dr.
Zulkiefliemansyah (41). Anggota DPR berdarah Sumbawa itu prihatin atas kondisi
kampung halamannya. Dia risau melihat anomali masyarakat setempat.
’’Sumbawa kaya sumber daya alam,
terutama emas. Bahkan, kandungan emas di Sumbawa terbesar di Indonesia. Tapi,
ironisnya, untuk mencari 3 gram emas saja, orang Sumbawa harus menjadi TKW
(tenaga kerja wanita) di luar negeri,’’ ujar doktor ekonomi lulusan Inggris
itu.
Di sisi lain, di Serpong,
Tangerang, tempat tinggal Zul –panggilan akrab Zulkiefliemansyah–, kini banyak
orang pintar yang bergelar Ph.D. Kondisi itulah yang membuat dia berpikir keras
agar para doktor yang melimpah di Serpong itu bisa dibawa ke Sumbawa. Nalurinya
sebagai ilmuwan dan pendidik bagai tersulut api.
Jalan keluarnya, harus ada sekolah
sekaligus pusat riset berkualitas tinggi di Sumbawa. Dia tak ingin masyarakat
lokal hanya menjadi penonton ketika emasnya ditambang.
Pergaulan dan jaringan Zul yang
luas membuat ajakannya mendapat support luar biasa dari berbagai pihak. Para
koleganya pun menyambut gagasan itu.
Salah satu program studi yang
digadang-gadang adalah teknik metalurgi. Menurut Zul, Sumbawa yang kaya emas
dan tembaga harus menjadi pusat riset terbaik untuk logam.
’’Selama ini, orang-orang pintar
Sumbawa kuliah ke luar Sumbawa. Saya ingin orang dari luar (Sumbawa) kuliah di
sini,’’ tegas Zul yang menjabat rektor UTS itu.
’’Jangan sampai masyarakat Sumbawa hanya menjadi penonton
ketika tambang emasnya diambil orang,’’ katanya.
Menteri BUMN Dahlan Iskan yang juga
hadir di UTS menyebut Dr. Zul dan kawan-kawan sebagai para ilmuwan supernekat.
Sambil menatap puncak bukit Olat Maras yang berdiri tegak di depannya, Dahlan
menyitir pepatah Tiongkok: Gunung tak perlu tinggi, yang penting ada dewanya.
Dia pun berharap para ilmuwan muda itu menjadi dewa di bukit Olat Maras.
Melihat kreativitas dan kapasitas
para ilmuwan yang membidani kelahiran kampus itu, Dahlan yakin UTS akan
menghasilkan riset-riset hebat. Karena itu, mantan Dirut PLN yang sebelumnya
meresmikan pembangkit listrik tenaga angin di Sumbawa tersebut langsung
menantang para ilmuwan UTS untuk menemukan bahan material pengembangan mobil
listrik. Termasuk menciptakan baterai murah dan efisien.
"Problem terbesar mobil
listrik adalah baterainya yang masih mahal. Kita harus bisa memecahkan
persoalan itu," ujarnya men-support para pengurus UTS. Kita tak boleh lagi
tertinggal dari Jepang, Eropa, dan Amerika," tegas Dahlan.
Kampus UTS didesain dengan
menitikberatkan pada kualitas produk. Karena itulah, kata Zul, untuk satu
program studi (prodi), UTS hanya akan menerima 10 mahasiswa setiap tahun. Pada
2013 ini, kampus yang dikelola Yayasan Dea Mas itu mulai menerima mahasiswa
baru. Pembangunan empat gedung di dalamnya, termasuk gedung rektorat yang
berkarakter rumah adat Sumbawa, dikebut siang-malam.
Praktis, pembangunan fisik dan
segala persiapan pembukaan kampus itu hanya membutuhkan waktu kurang dari
setahun. Kampus itu berada di lahan 60 hektare.
Dari mana dana pendirian UTS?
"Kampus ini dibangun dengan dana CSR (corporate social responsibility)
sejumlah BUMN. Juga CSR sejumlah perusahaan swasta," ujar Mujiburahman,
ketua Yayasan Dea Mas.
Menurut dia, UTS mengelola lima
fakultas. Selain fakultas teknik, ada fakultas pertanian dan bioteknologi;
fakultas ilmu komunikasi; fakultas ekonomi dan bisnis; serta fakultas
psikologi.
Kampus yang baru memasuki tahun
pertama itu kini seperti bayi cantik. Bukan hanya Dahlan yang sudah
mengunjungi. Sejumlah menteri juga pernah melewati "jalan setapak"
untuk menengoknya. Termasuk Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan Menristek
Gusti Muhammad Hatta.
Menurut Nurul, kelahiran UTS juga
melibatkan para pakar dari LIPI, Universitas Padjadjaran, dan Universitas
Indonesia. Termasuk ahli metalurgi UI, Prof. Bambang Suharno.
"Kini ada enam kandidat doktor
muda yang masih kuliah di luar negeri. Salah satunya di Taiwan. Mereka
disiapkan untuk menjadi dosen di sini," ujar Nurul.
Sementara itu, Bupati Sumbawa Jamaluddin Malik
menyatakan senang atas kehadiran kampus UTS. Dia berjanji memperjuangkan akses
masuk ke UTS selebar 12 meter. "Ini agar mobil yang ingin mencapai kaki
bukit Olat Maras tidak selip lagi," ungkapnya.