Alhamdulillah, Allah subhanahu wa ta’ala masih memberikan kita
berbagai macam nikmat, kita pun diberi anugerah akan berjumpa dengan
bulan Dzulhijah. Berikut kami akan menjelasakan keutamaan beramal di
awal bulan Dzulhijah dan apa saja amalan yang dianjurkan ketika itu.
Semoga bermanfaat.
Keutamaan Sepuluh Hari di Awal Bulan Dzulhijah
Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ
مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ . يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلاَ الْجِهَادُ
فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ
يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ
“Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah
melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari
pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak
pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan
jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”[1]
Di antaranya lagi yang menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
“Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini
Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang
disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari
para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari
terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh
hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan
untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan
sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa
tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat.
Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan
selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]
Keutamaan Beramal di Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada
satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh
yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul
Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak
pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan
jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.”[6]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa
amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah
daripada hari-hari lainnya dan di sini tidak ada pengecualian. Jika
dikatakan bahwa amalan di hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah,
itu menunjukkan bahwa beramal di waktu itu adalah sangat utama di
sisi-Nya.”[7]
Bahkan jika seseorang melakukan amalan yang mafdhul (kurang utama) di
hari-hari tersebut, maka bisa jadi lebih utama daripada seseorang
melakukan amalan yang utama di selain sepuluh hari awal bulan Dzulhijah.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah.”
Lalu beliau memberi pengecualian yaitu jihad dengan mengorbankan jiwa
raga. Padahal jihad sudah kita ketahui bahwa ia adalah amalan yang mulia
dan utama. Namun amalan yang dilakukan di awal bulan Dzulhijah tidak
kalah dibanding jihad, walaupun amalan tersebut adalah amalan mafdhul
(yang kurang utama) dibanding jihad.[8]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa amalan
mafdhul (yang kurang utama) jika dilakukan di waktu afdhol (utama) untuk
beramal, maka itu akan menyaingi amalan afdhol (amalan utama) di
waktu-waktu lainnya. Amalan yang dilakukan di waktu afdhol untuk beramal
akan memiliki pahala berlebih karena pahalanya yang akan
dilipatgandakan.”[9] Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada
awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[10]
Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal
Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama
dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari.
Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah
(dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal
Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang
disebutkan di atas.[11]
Amalan yang Dianjurkan di Sepuluh Hari Pertama Awal Dzulhijah
Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja,
tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa
shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[12] Di
antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ
وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ
اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa
pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram),
berpuasa tiga hari setiap bulannya[13], …”[14]
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal
Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu
Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari
tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [15]
Namun ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali.”[16] Mengenai riwayat ini, para ulama memiliki beberapa penjelasan.
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan puasa ketika itu –padahal beliau suka melakukannya- karena khawatir umatnya menganggap puasa tersebut wajib.[17]
Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ada riwayat yang menyebutkan
hal yang berbeda dengan riwayat ‘Aisyah di atas. Lantas beliau
menyebutkan riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijah.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ada pertentangan antara perkataan
‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah berpuasa sembilan hari Dzulhijah dan perkataan Hafshoh
yang menyatakan bahwa beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa
sembilan hari Dzulhijah, maka yang dimenangkan adalah perkataan yang
menetapkan adanya puasa sembilan hari Dzulhijah.
Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud riwayat Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada. Jadi, hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari lainnya.[18]
Kesimpulan: Boleh berpuasa penuh selama sembilan
hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa
pada sebagian harinya.
Catatan: Kadang dalam hadits disebutkan berpuasa
pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Yang dimaksudkan adalah mayoritas dari
sepuluh hari awal Dzulhijah, hari Idul Adha tidak termasuk di dalamnya
dan tidak diperbolehkan berpuasa pada hari ‘Ied.[19]
Keutamaan Hari Arofah
Di antara keutamaan hari Arofah (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا
مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى
بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari
neraka adalah di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah).
Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada
para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh
mereka?”[20]
Itulah keutamaan orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang
wukuf di Arofah saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga,
negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka pun
dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridho,
kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di
Arofah inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan
tergantung dari niat mereka masing-masing.[21]
Keutamaan yang lainnya, hari arofah adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.”[22]
Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan.[23]
Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa
pada Allah. Do’a pada hari Arofah adalah do’a yang mustajab karena
dilakukan pada waktu yang utama.
Jangan Tinggalkan Puasa Arofah
Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa
Arofah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu
Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ
السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ
عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى
قَبْلَهُ
“Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan
setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa
setahun yang lalu.”[24] Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah
lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara alasannya, Puasa Asyuro
berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.[25] Keutamaan puasa Arofah
adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang
dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang
dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya
derajat.[26]
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa Arofah.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa
ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun
meminumnya.”[27]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai puasa hari Arofah di Arofah. Beliau mengatakan,
حَجَجْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ
أَبِى بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ
عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ. وَأَنَا لاَ أَصُومُهُ وَلاَ آمُرُ بِهِ وَلاَ
أَنْهَى عَنْهُ
“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan beliau tidak menunaikan puasa pada hari Arofah. Aku pun
pernah berhaji bersama Abu Bakr, beliau pun tidak berpuasa ketika itu.
Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak berpuasa ketika itu. Aku pun
tidak mengerjakan puasa Arofah ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan
orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang
melakukannya.”[28]
Dari sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah
tidak berpuasa ketika hari Arofah di Arofah dalam rangka meneladani Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ur Rosyidin
(Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam
berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di Arofah. Inilah pendapat mayoritas
ulama.[29]
Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijah)
Ada riwayat yang menyebutkan,
صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة
“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.”
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.[30] Asy
Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya
ada perowi yang pendusta.[31] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini dho’if (lemah).[32]
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada
tanggal 8 Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah). Namun jika berpuasa
karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan
berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
Siapakah yang Harus Diikuti dalam Puasa Arofah?
Permasalahan ini sering muncul dari berbagai pihak ketika menghadapi
hari Arofah. Ketika para jama’ah haji sudah wukuf tanggal 9 Dzulhijah di
Saudi Arabia, padahal di Indonesia masih tanggal 8 Dzulhijah, mana yang
harus diikuti dalam puasa Arofah? Apakah ikut waktu jama’ah haji wukuf
atau ikut penanggalan Hijriyah di negeri ini sehingga puasa Arofah tidak
berpapasan dengan wukuf di Arofah?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mendapat pertanyaan sebagai berikut,
إذا اختلف يوم عرفة نتيجة لاختلاف المناطق المختلفة في مطالع الهلال فهل
نصوم تبع رؤية البلد التي نحن فيها أم نصوم تبع رؤية الحرمين؟
“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arofah disebabkan
perbedaan mathla’ (tempat terbit bulan) hilal karena pengaruh perbedaan
daerah. Apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami tinggali
ataukah mengikuti ru’yah Haromain (dua tanah suci)?”
Syaikh rahimahullah menjawab,
هذا يبنى على اختلاف أهل العلم: هل الهلال واحدفي الدنيا كلها أم هو
يختلف باختلاف المطالع؟ والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع، فمثلاً إذا كان
الهلال قد رؤي بمكة، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع، ورؤي في بلد آخر قبل
مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا
هذا اليوم لأنه يوم عيد، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم
التاسع في مكة هو الثامن عندهم، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق
ليوم العاشر في مكة، هذا هو القول الراجح، لأن النبي صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول: «إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا»
وهؤلاء الذين لم يُر في جهتهم لم يكونوا يرونه، وكما أن الناس بالإجماع
يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها، فكذلك التوقيت الشهري
يكون كالتوقيت اليومي.
“Permasalahan ini adalah derivat dari perselisihan ulama apakah hilal
untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan
daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan
daerah.
Misalnya di Mekkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9
Dzulhijjah. Sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat
sehari sebelum ru’yah Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah
adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi
penduduk Negara tersebut untuk berpuasa Arofah pada hari ini karena hari
ini adalah hari Iedul Adha di negara mereka.
Demikian pula, jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang
satu hari setelah ru’yah di Mekkah sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di
Mekkah itu baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara
tersebut berpuasa Arofah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka meski
hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang paling kuat dalam masalah ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika
kalian melihat hilal Ramadhan hendaklah kalian berpuasa dan jika kalian
melihat hilal Syawal hendaknya kalian berhari raya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Orang-orang yang di daerah mereka hilal tidak terlihat maka mereka tidak termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta
tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian
pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu
mengikuti daerahnya masing-masing).” [33] –Demikian penjelasan dari
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah-. Namun
kami menghargai pendapat yang berbeda dengan penjelasan Syaikh di atas.
Hendaklah kita bisa menghargai pendapat ulama yang masih ada ruang
ijtihad di dalamnya.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan di awal Dzulhijah dan puasa
Arofah. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dengan ikhlas dan
sesuai dengan petunjuk Nabi-Nya.
***
Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727,
dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 923, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/153, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 159, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H.
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 469, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[6] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727,
dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[7] Latho-if Al Ma’arif, hal. 456.
[8] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 457 dan 461.
[9] Idem
[10] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[11] Idem
[12] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.
[13] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[14] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[16] HR. Muslim no. 1176, dari ‘Aisyah
[17] Fathul Bari, 3/390, Mawqi’ Al Islam
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-460.
[19] Lihat Fathul Bari, 3/390 dan Latho-if Al Ma’arif, hal. 460.
[20] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[21] Lihat Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Alal Qori, 9/65,Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah.
[22] HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] Lihat Tuhfatul Ahwadziy, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 8/482, Mawqi’ Al Islam.
[24] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[25] Lihat Fathul Bari, 6/286.
[26] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 4/179, Mawqi’ Al Islam.
[27] HR. Tirmidzi no. 750. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits
tersebut hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih
[28] HR. Tirmidzi no. 751. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[29] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 2/137, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[30] Lihat Al Mawdhu’at, 2/565, dinukil dari http://dorar.net
[31] Lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah, hal. 96, dinukil dari http://dorar.net
[32] Lihat Irwa’ul Gholil no. 956.
[33] Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 20/47-48, Darul Wathon – Darul Tsaroya, cetakan terakhir, tahun 1413 H.