Tuesday, 23 August 2011

Malware Win32/Delf.QCZ, Pesan Spam Facebook Chat

0 comments
Program jahat trojan yang menyebar menggunakan media jejaring sosial macam Facebook dan lainnya semakin kreatif dalam mengelabui calon korban. Modus yang cukup menarik perhatian adalah dengan mengiming-imingi bantuan, seperti yang dilakukan trojan yang teridentifikasi sebagai Win32/Delf.QCZ.
Perusahaan keamanan Eset menyebut ini merupakan salah satu varian trojan yang mendownload malware lain dari internet. Seperti diketahui bahwa trojan menyebar luas melalui link di situs-situs jejaring sosial dan beraksi dengan mengintervensi beberapa aplikasi keamanan untuk mematikan fungsi deteksi aplikasi keamanan tersebut.

Win32/Delf.QCZ dikatakan memakai aplikasi lama 'codec palsu/media player' dan link ke situs malware-laden yang menyebar lewat Facebook chat. Tetapi para pembuat malware telah mengupgradenya hingga mampu melakukan serangan secara lebih personal terhadap user yang menjadi target.

Malware Win32/Delf.QCZ tidak hanya muncul sebagai pesan spam yang seolah dikirim oleh teman Facebook kita, atau mengirimkan pesan-pesan umum pada Facebook wall post seperti contoh "WOW! http://_malicious_link_", dan malware yang mengirimkan Win32/Delf.QCZ juga memalsukan percakapan kita sebelum mengirimkan malicious URL.

Link ke web page yang tampil mirip dengan tampilan YouTube, dan biasanya malware meminta user untuk mengupgrade Adobe Flash Player terlebih dahulu untuk dapat menyaksikan video yang dikirimkan.

Agar lebih meyakinkan dan mendorong rasa ingin tahu dari calon korban, mereka diminta untuk menjalankan malware yang dikirim. Sedangkan nama user yang mengirimkan tentu saja palsu dan diperoleh dari Facebook. Ditampilkan di video yang dikirim dengan diberi judul tambahan yang terkesan sensasional.

Modus

Vektor penyebaran yang digunakan oleh Win32/Delf.QCZ sangat efektif dan menarik, karena memiliki muatan sebesar layaknya video, sehingga bisa menipu. Trojan ini bisa dikategorikan sebagai antivirus palsu, tetapi skenario penyerangannya berbeda dibandingkan dengan tipikal Rogue AV yang sudah ada -- yaitu tidak mempengaruhi user untuk membeli aplikasi keamanan palsu.

Win32/Delf.QCZ justru memalsukan antivirus asli yang sudah diinstall di komputer korban. Hal tersebut bisa dilihat dari munculnya tampilan peringatan serangan virus yang dibuat seakan-akan berasal dari antivirus yang ada di komputer korban, padahal antivirus sudah diremove sebelumnya.

Trojan Win32/Delf.QCZ akan bertindak sebagai downloader untuk malware lain, yaitu backdoor yang dikenal tangguh untuk melakukan eksploitasi terhadap komputer ketika aplikasi antivirus telah dimatikan.

Nah, menurut Eset kepada detikINET, Jumat (19/8/2011), di balik skenario tersebut tentu saja ada motif finansial. Pelaku yang menggunakan Win32/Delf.QCZ dimungkinkan menjadi bagian dari skema komersial dengan model pembayaran pay-per-install atau menjadi alat untuk mempermudah instalasi malware pihak ketiga untuk mendapatkan keuntungan finansial.

Aplikasi keamanan ESET antivirus mendeteksi dan menyingkirkan threat Win32/Delf.QCZ dengan memproteksi wilayah sensitif dari OS Windows, sebelum trojan tersebut berhasil menyebar dan memperluas fungsi HIPS (Host Intrusion Prevention System).

detik.com
Read more...
Sunday, 21 August 2011

Sekolah Untuk Apa?

0 comments

Seputar-indonesia.com – Thursday, 07 July 2011
Sekolah Untuk Apa? – Rhenald Kasali
Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak mencari sekolah.Masuk universitas pilihan susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk ternyata banyak yang ”salah kamar”.
Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan, yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah. Demikianlah, diterima di perguruan tinggi negeri (PTN) masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja.
Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S-2. Jadi birokrat atau jenderal pun sekarang banyak yang ingin punya gelar S- 3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA, 30 tahun lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini.
Sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya. Mengapa hanya soal memindahkan anak ke sekolah negeri lain saja lantaran pindah rumah biayanya begitu besar? Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.
Lengkap sudah masalah kita. Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serbasulit ini?
Kesadaran Membangun SDM
Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, Perdana Menteri (PM) Malaysia Mahathir Mohamad sadar betul pentingnya pembangunan sumber daya manusia (SDM). Dia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S-2 dan S-3 ke berbagai negara maju.
Hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai 10 tahun,lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya Anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya. Perubahan bukan hanya sampai di situ.
Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis,serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan.
Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya.Tak mengherankan kalau sekolahsekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah. Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa.
”Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,” ujar seorang dekan di Erasmus. Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik.
Seleksinya sangat ketat. Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? ”Mudah saja,” ujar dekan itu. ”Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,”ujarnya.
Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di Selandia Baru. Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi.Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah. Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di Selandia Baru.
Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam 10 besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewawancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan.
Di luar dugaan saya,pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah. Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guruguru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai ratarata di atas 80 (betapapun stresnya mereka) dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif, namun tak menguasai semua subjek.
Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengopi isi buku dan catatan. Entah di mana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.
Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri,mungkin guruguru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri.
Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? ”Undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar,” ujar seorang guru di Selandia Baru. Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan input-nya? ”Itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya,” ujar putra sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga.
Maksudnya,tes masuk tetap ada,tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi. Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu Matematika dan Bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan.
Sekolah dilarang hanya menerima anakanak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super di kedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur.
Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif. Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masingmasing. Bagi mereka yang bercita- cita menjadi dokter, biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai.
Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik,dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Bayangkan, bukankah citacita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super.Seorang lulusan SLTA tahun pertama harus menguasai empat bidang sains (biologi,ilmu kimia, fisika, dan matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris, dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga, dan komputer.
Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Seperti kurikulum program S-1 20 tahun lalu yang sejajar dengan program S-1 yang digabung hingga S-3 di Amerika.
Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, sehingga hampir tak ada yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun. Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian, tapi tak ada masalah kok!
Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah mengubah banyak hal, anakanak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, tapi datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, melainkan dari segala resources.
Ilmu belajar menjadi lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri,sehingga diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, lifelong learning.
Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, ”Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak 10 tahun lalu. Maka itu, sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah,metode diperbarui,fasilitas baru dibangun,” ujar seorang guru.
Masih banyak yang ingin saya diskusikan,tapi sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah dan untuk apa kita bersekolah? Mudahmudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depan yang lebih baik.
RHENALD KASALI Ketua Program MM UI
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/411134/

Read more...

Pelajaran Berharga dari Passport

0 comments

PassportJawapos, 8 Agustus 2011.
PASSPORT – By Rhenald Kasali
Setiap saat mulai perkuliahan, saya selalu bertanya kepada mahasiswa berapa orang yang sudah memiliki pasport. Tidak mengherankan, ternyata hanya sekitar 5% yang mengangkat tangan. Ketika ditanya berapa yang sudah pernah naik pesawat, jawabannya melonjak tajam. Hampir 90% mahasiswa saya sudah pernah melihat awan dari atas. Ini berarti mayoritas anak-anak kita hanyalah pelancong lokal.
Maka, berbeda dengan kebanyakan dosen yang memberi tugas kertas berupa PR dan paper, di kelas-kelas yang saya asuh saya memulainya dengan memberi tugas mengurus pasport. Setiap mahasiswa harus memiliki “surat ijin memasuki dunia global.”. Tanpa pasport manusia akan kesepian, cupet, terkurung dalam kesempitan, menjadi pemimpin yang steril. Dua minggu kemudian, mahasiswa sudah bisa berbangga karena punya pasport.
Setelah itu mereka bertanya lagi, untuk apa pasport ini? Saya katakan, pergilah keluar negeri yang tak berbahasa Melayu. Tidak boleh ke Malaysia, Singapura, Timor Leste atau Brunei Darussalam. Pergilah sejauh yang mampu dan bisa dijangkau.
Uang untuk beli tiketnya bagaimana, pak?”
Saya katakan saya tidak tahu. Dalam hidup ini, setahu saya hanya orang bodohlah yang selalu memulai pertanyaan hidup, apalagi memulai misi kehidupan dan tujuannya dari uang. Dan begitu seorang pemula bertanya uangnya dari mana, maka ia akan terbelenggu oleh constraint. Dan hampir pasti jawabannya hanyalah tidak ada uang, tidak bisa, dan tidak mungkin.
Pertanyaan seperti itu tak hanya ada di kepala mahasiswa, melainkan juga para dosen steril yang kurang jalan-jalan. Bagi mereka yang tak pernah melihat dunia, luar negeri terasa jauh, mahal, mewah, menembus batas kewajaran dan buang-buang uang. Maka tak heran banyak dosen yang takut sekolah ke luar negeri sehingga memilih kuliah di almamaternya sendiri. Padahal dunia yang terbuka bisa membukakan sejuta kesempatan untuk maju. Anda bisa mendapatkan sesuatu yang yang terbayangkan, pengetahuan, teknologi, kedewasaan, dan wisdom.
Namun beruntunglah, pertanyaan seperti itu tak pernah ada di kepala para pelancong, dan diantaranya adalah mahasiswa yang dikenal sebagai kelompok backpackers. Mereka adalah pemburu tiket dan penginapan super murah, menggendong ransel butut dan bersandal jepit, yang kalau kehabisan uang bekerja di warung sebagai pencuci piring. Perilaku melancong mereka sebenarnya tak ada bedanya dengan remaja-remaja Minang, Banjar, atau Bugis, yang merantau ke Pulau Jawa berbekal seadanya.Ini berarti tak banyak orang yang paham bahwa bepergian keluar negeri sudah tak semenyeramkan, sejauh, bahkan semewah di masa lalu.
Seorang mahasiswa asal daerah yang saya dorong pergi jauh, sekarang malah rajin bepergian. Ia bergabung ke dalam kelompok PKI (Pedagang Kaki Lima Internasional) yang tugasnya memetakan pameran-pameran besar yang dikoordinasi pemerintah. Disana mereka membuka lapak, mengambil resiko, menjajakan aneka barang kerajinan, dan pulangnya mereka jalan-jalan, ikut kursus, dan membawa dolar. Saat diwisuda, ia menghampiri saya dengan menunjukkan pasportnya yang tertera stempel imigrasi dari 35 negara. Selain kaya teori, matanya tajam mengendus peluang dan rasa percaya tinggi. Saat teman-temannya yang lulus cum-laude masih mencari kerja, ia sudah menjadi eksekutif di sebuah perusahaan besar di luar negeri.
The Next Convergence
Dalam bukunya yang berjudul The Next Convergence, penerima hadiah Nobel ekonomi Michael Spence mengatakan, dunia tengah memasuki Abad Ke tiga dari Revolusi Industri. dan sejak tahun 1950, rata-rata pendapatan penduduk dunia telah meningkat dua puluh kali lipat. Maka kendati penduduk miskin masih banyak, adalah hal yang biasa kalau kita menemukan perempuan miskin-lulusan SD dari sebuah dusun di Madura bolak-balik Surabaya-Hongkong.
Tetapi kita juga biasa menemukan mahasiswa yang hanya sibuk demo dan tak pernah keluar negeri sekalipun. Jangankan ke luar negeri, tahu harga tiket pesawat saja tidak, apalagi memiliki pasport.Maka bagi saya, penting bagi para pendidik untuk membawa anak-anak didiknya melihat dunia. Berbekal lima ratus ribu rupiah, anak-anak SD dari Pontianak dapat diajak menumpang bis melewati perbatasan Entekong memasuki Kuching. Dalam jarak tempuh sembilan jam mereka sudah mendapatkan pelajaran PPKN yang sangat penting, yaitu pupusnya kebangsaan karena kita kurang urus daerah perbatasan. Rumah-rumah kumuh, jalan berlubang, pedagang kecil yang tak diurus Pemda, dan infrastruktur yang buruk ada di bagian sini. Sedangkan hal sebaliknya ada di sisi seberang. Anak-anak yang melihat dunia akan terbuka matanya dan memakai nuraninya saat memimpin bangsa di masa depan. Di universitas Indonesia, setiap mahasiswa saya diwajibkan memiliki pasport dan melihat minimal satu negara.
Dulu saya sendiri yang menjadi gembala sekaligus guide nya. Kami menembus Chiangmay dan menyaksikan penduduk miskin di Thailand dan Vietnam bertarung melawan arus globalisasi. Namun belakangan saya berubah pikiran, kalau diantar oleh dosennya, kapan memiliki keberanian dan inisiatif? Maka perjalanan penuh pertanyaan pun mereka jalani. Saat anak-anak Indonesia ketakutan tak bisa berbahasa Inggris, anak-anak Korea dan Jepang yang huruf tulisannya jauh lebih rumit dan pronounciation-nya sulit dimengerti menjelajahi dunia tanpa rasa takut. Uniknya, anak-anak didik saya yang sudah punya pasport itu 99% akhirnya dapat pergi keluar negeri. Sekali lagi, jangan tanya darimana uangnya. Mereka memutar otak untuk mendapatkan tiket, menabung, mencari losmen-losmen murah, menghubungi sponsor dan mengedarkan kotak sumbangan. Tentu saja, kalau kurang sedikit ya ditomboki dosennya sendiri.
Namun harap dimaklumi, anak-anak didik saya yang wajahnya ndeso sekalipun kini dipasportnya tertera satu dua cap imigrasi luar negeri. Apakah mereka anak-anak orang kaya yang orangtuanya mampu membelikan mereka tiket? Tentu tidak. Di UI, sebagian mahasiswa kami adalah anak PNS, bahkan tidak jarang mereka anak petani dan nelayan. Tetapi mereka tak mau kalah dengan TKW yang meski tak sepandai mereka, kini sudah pandai berbahasa asing.
Anak-anak yang ditugaskan ke luar negeri secara mandiri ternyata memiliki daya inovasi dan inisiatif yang tumbuh. Rasa percaya diri mereka bangkit. Sekembalinya dari luar negeri mereka membawa segudang pengalaman, cerita, gambar dan foto yang ternyata sangat membentuk visi mereka.
Saya pikir ada baiknya para guru mulai membiasakan anak didiknya memiliki pasport. Pasport adalah tiket untuk melihat dunia, dan berawal dari pasport pulalah seorang santri dari Jawa Timur menjadi pengusaha di luar negeri. Di Italy saya bertemu Dewi Francesca, perempuan asal Bali yang memiliki kafe yang indah di Rocca di Papa. Dan karena pasport pulalah, Yohannes Surya mendapat bea siswa di Amerika Serikat. Ayo, jangan kalah dengan Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang baru punya pasport dari uang negara.
Rhenald Kasali – Guru Besar Universitas Indonesia.

...

purwo.com
Read more...

Situs-situs Anti Islam Denmark Berhasil Diretas Muslimah Saudi

0 comments

Seorang wanita Saudi asal Al Khabar yang sedang melanjutkan pendidikannya di Amerika Serikat berhasil melumpuh 23 situs anti-Islam Denmark, yang melecehkan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam di dunia maya. Demikian dilaporkan koran Al Madinah, Kamis (18/08/2011). Nouf Rashid mengatakan, dirinya berhasil meretas dan melumpuhkan situs-situs Denmark yang memasang gambar Nabi Muhammad dan menampilkan materi yang melecehkan Islam.
Menurut media-media Barat, lebih dari 900 situs internet Denmark telah diretas oleh sekelompok orang atau individu belum lama ini.
“Kami belum pernah melihat sebegitu banyak penghancuran yang ditujukan secara politis dalam waktu sesingkat ini,” ujar Roberto Preatoni dari Zona H, Grup Pengawasan Internet kepada BBC. Dia menggarisbawahi bahwa sebagian besar gangguan tersebut melibatkan penghancuran situs, meskipun beberapa hacker  telah diancam dengan pembalasan dendam oleh warga Denmark.
Laporan BBC menyebutkan, para peretas biasanya mengganti tampilan muka situs dengan pesan pro-Islam dan mengecam publikasi gambar-gambar yang melecehkan Nabi Muhammad.
“Saya juga mengirimkan pesan dan artikel-artikel tentang Islam dan Nabi Muhammad kepada pengelola situsnya,” kata Nouf.
Tidak hanya itu, Nouf juga merusak sejumlah situs pornografi dan meretas sistem komputer milik para pemuda yang berupaya memeras para gadis dengan cara mengancam akan menyebarkan foto pribadi mereka di dunia maya.
Nouf terjun ke dunia hacker awalnya untuk membantu seorang gadis yang diperas oleh seorang pemuda yang ingin menikahinya. Pria itu mengancam si gadis dengan foto-foto pribadinya yang ada di tangan si pria.
“Saya menghubungi teman-teman hacker di universitas dan saya belajar seni meretas dari mereka,” kata Nouf.
“Saya ingin menyelamatkan banyak perempuan muda yang diperas dengan menggunakan foto-foto mereka. Atas pertolongan Allah saya bisa masuk ke sistem dan menghapus banyak foto mereka,” katanya lagi.

Nouf menghimbau agar para gadis berhati-hati menggunakan internet dan tidak membuka email yang mencurigakan. Disamping itu orang juga harus berhati-hati saat mengirinkan komputernya ke pusat-pusat servis, sebab bisa saja komputer mereka dijejali dengan virus atau aplikasi tersembunyi yang digunakan untuk memata-matai pemilik komputer tersebut.

Seperti halnya Amerika Serikat, Arab Saudi juga menerapkan hukuman yang keras untuk para hacker dengan hukuman hingga  10 tahun penjara dan denda hingga 1,8 juta Dollar.

Preatoni mengatakan kepada BBC bahwa sebagian besar situs yang dijadikan sasaran dikelola oleh organisasi-organisasi dan perusahaan-perusahaan kecil yang tidak mempekerjakan petugas keamanan serta tidak dapat mengenali sinyal-sinyal dan tanda-tanda bahaya terbaru. Bagaimana pun, Preatoni menandaskan bahwa beberapa situs yang mengalami pembobolan tersebut telah diperbaiki dalam waktu 24 jam.
Read more...
Tuesday, 9 August 2011

Berterima Kasihlah, Web Merevolusi Internet

0 comments
Mengakses situs web di internet pastinya telah menjadi keseharian Anda. Namun, tahukah Anda, internet menjadi lebih populer seperti saat ini dengan adanya teknologi world wide web (WWW). Internet lebih manusiawi karena situs web disajikan dengan bahasa sehari-hari, bukan lagi susunan kode dan angka-angka.
Asal tahu, bulan ini adalah peringatan 20 tahun kehadiran situs web pertama di dunia. Situs web pertama kali dipublikasikan pada 6 Agustus 1991. Tim Berners Lee adalah orang pertama yang mengembangkan teknologi tersebut di fasilitas lembaga penelitian nuklir CERN di Swiss.
Ia menjalankan situs web tersebut dengan komputer NeXT di tempat itu. Alamat situs web http://info.cern.ch adalah alamat pertama di dunia itu. Halaman dari situs web itu ialah http://info.cern.ch/hypertext/WWW/TheProject.html. Situs web itu berisi informasi proyek WWW. Pengunjung bisa belajar bagaimana membuat web dan cara menggunakan web untuk mengakses informasi.
Pastinya situs web pertama itu sangatlah sederhana. Tak ada screenshot pada halaman situs web tersebut. Perubahan terkait penambahan informasi tentang berkembangnya proyek WWW yang sedang berjalan dilakukan secara manual setiap hari. Tentu satu-satunya orang yang memiliki browser situs web itu adalah Lee dan rekan-rekannya di CERN. Tak mengherankan jika banyak orang abai pada momentum ini.
Meski demikian, pada perkembangannya, situs web terus berkembang sejak itu dan mencapai salah satu momentum besar ketika ada browser Mosaic tahun 1993. Pada tahun 1994, Lee mendirikan World Wide Web Consortium (W3C) di MIT untuk membuat standar situs web sehingga memastikan semua yang ada bekerja dengan cara yang sama. Saat ini ada beragam cara yang berkembang, tetapi semua itu tak akan tercipta tanpa W3C.
Saat ini, website dan internet seolah menyatu. Padahal, ada masa di mana keduanya terasa sangat berbeda dan memang pada dasarnya berbeda. Internet adalah infrastruktur yang menghubungkan komputer. Adapun web adalah cara untuk mengakses informasi lewat internet memakai browser.
Perkembangan situs web begitu pesat saat ini, tidak hanya untuk mengakses informasi sederhana, tetapi juga menikmati hiburan, sarana pendidikan, dan bahkan mendatangkan uang. Dengan pencapaian teknologi ini, pantaslah kita mengatakan "happy birthday" pada web yang telah merevolusi internet. Semoga keberadaannya bisa semakin menyejahterakan manusia di seluruh dunia.

kompas.com
Read more...

Label

 
Wong Leces © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

Man Jadda Wajada. Siapa yang Bersungguh-sungguh Akan Berhasil