Thursday, 9 December 2010

Lota Ende Terasing di Negeri Sendiri

0 comments
Seorang warga di Ndao, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, menunjukkan sebuah fia, salah satu alat tenun ikat tradisional peninggalan turun-temurun setempat yang bertuliskan aksara Lota, Senin (5/7/2010)
Tak banyak yang mengetahui bahwa di kawasan Nusa Tenggara Timur, khususnya Kabupaten Ende, Pulau Flores, terdapat aksara asli yang disebut Lota. Aksara ini nyaris punah.

Tim Kompas bersama peneliti aksara Lota, Maria Matildis Banda, mengunjungi sejumlah tempat di Kecamatan Ende, Ende Selatan, Ende Utara, dan Nangapanda, yaitu permukiman etnik Ende yang beragama Islam, pengguna terbesar aksara Lota pada masa lalu.

Tima (84), warga Kampung Woloare, Kota Ende, menuturkan, ia mengenal aksara Lota sejak kelas I sekolah rakyat. Karena sudah lama tidak menggunakan, Tima mengerutkan kening dan berusaha mengingat ketika diminta membaca atau menulis aksara itu.

"Saya sudah banyak lupa," katanya setelah berhasil menulis beberapa kosakata huruf Lota.

Surat beraksara Lota dulu ditulis menggunakan ujung pisau pada wunu koli (daun lontar). Hal senada diutarakan Murukana (80), nelayan Ndao.

Aksara Lota mulai kehilangan penggunanya tahun 1990-an. Generasi muda lebih suka belajar huruf Arab untuk membaca Al Quran dan huruf Latin sebagai media komunikasi. Hal ini menyedihkan mengingat aksara Lota adalah aset budaya Ende yang turut menyumbang kebinekaan Indonesia.

Mungkin hanya Mustafa Saleh Nggae (52), warga Kampung Pu’u Mbara, Kecamatan Ende Utara, yang masih mahir membaca dan menulis aksara Lota. Ia langsung membaca dengan cara bersenandung (wo’i) ketika disodori naskah prosa berjudul Ratu Jie Ne’e Ratu Re’e, yang ditulis dengan bahasa Lio Ende.

Wo’i merupakan tradisi di etnik Ende, semacam syair dalam aksara Lota yang dibacakan pada acara sunatan, pesta pernikahan, dan pembangunan rumah. Wo’i berisi silsilah keluarga, sambutan bagi kedatangan kerabat, dan doa-doa agar hajatan berjalan baik.

"Tapi, dalam tiga tahun terakhir ini jarang orang meminta wo’i," kata Mustafa, yang belajar aksara Lota dari kakeknya, Abdul Fatah (almarhum).

Aksara Lota merupakan turunan langsung dari aksara Bugis. Sejarah mencatat, aksara Lota masuk Ende sekitar abad ke-16 semasa pemerintahan Raja Goa XIV I Mangngarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alaudin (1593-1639). Ia dibawa orang Bugis yang migrasi ke Ende. Aksara Bugis beradaptasi dan berkembang sesuai dengan sistem bahasa Ende menjadi aksara Lota.

Lota berasal dari kata lontar. Mulanya aksara Ende ditulis pada daun lontar. Dalam perkembangannya ditulis di kertas.

Ada delapan aksara Lota Ende yang tidak ada dalam aksara Bugis, yaitu bha, dha, fa, gha, mba, nda, ngga, dan rha. Sebaliknya ada enam aksara Bugis yang tidak ada dalam aksara Lota Ende, yaitu ca, ngka, mpa, nra, nyca, dan nya.

Aksara Lota Ende sudah diteliti sejumlah pakar linguistik dan filologi, antara lain S Ross yang hasilnya dibukukan oleh Suchtelen tahun 1921 dalam Encyclopaedisch Bureau Endeh Flores. Peneliti lain adalah Jan Djou Gadi Ga’a tahun 1959, 1978, 1984, serta Maria Matildis Banda meneliti tahun 1993 dengan dukungan dana dari Ford Foundation. Hasilnya dibukukan tahun 2005 dengan judul Deskripsi Naskah dan Sejarah Perkembangan Aksara Ende Flores Nusa Tenggara Timur.

Menurut Maria, aksara Lota sebenarnya gampang untuk dipelajari, tetapi seperti dibiarkan mati. Perhatian pemerintah daerah juga kurang. ”Padahal, salah satu tanda tingginya peninggalan budaya suatu bangsa adalah budaya tulisnya,” kata Maria, dosen Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali.

Prof Stephanus Djawanai, Guru Besar Bidang Linguistik dari Universitas Gadjah Mada, di Ende menyatakan, aksara Ende termasuk jenis silabik (syllabic writing, syllabibography, syllable writing), yang menggambarkan suku-suku kata, mirip dengan Hiragana Jepang. Jadi, bukan alfabet seperti huruf Latin.

”Tradisi penulisan aksara Lota bisa dikembangkan lewat jalur pendidikan. Strateginya, menjadikan aksara Lota sebagai salah satu pelajaran muatan lokal,” kata Stephanus.

Saran itu patut menjadi perhatian. Jika proses regenerasi terputus, bisa jadi generasi masa depan NTT tinggal mengenang aksara Lota sebagai sejarah.(SEM/RUL)

www.kompas.com
Read more...

Aksara Kuno Lota Ende

0 comments
Mustafa Saleh Nggae
Suatu bangsa dikenal dari bahasa dan aksaranya. Salah satu kriteria tingginya budaya suatu bangsa dapat dilihat dari peninggalan budaya tulisnya. Masyarakat Ende, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, memiliki aksara Lota. Sayangnya, kini, aksara Lota itu terkesan dibiarkan mati.

Aksara Lota merupakan turunan dari aksara Bugis yang masuk Ende sekitar awal abad ke-16. Aksara Bugis ini kemudian beradaptasi dengan sistem bahasa dan budaya lokal masyarakat Ende. Pada masa lampau, aksara Lota ini ditulis pada daun lontar.

Pada 1990-an, aksara Lota semakin kehilangan penggunanya. Saat itu hanya kalangan tua yang menguasai aksara ini. Salah satunya Rugeya (kini almarhumah), sosok yang fasih menulis-membaca Lota dan menjadi narasumber para peneliti yang pada 1993 sudah berusia 65 tahun.

Proses regenerasi amat lemah. Generasi muda kurang berminat mempelajari aksara Lota karena terbatas penggunaannya dibandingkan aksara Latin yang menjadi alat komunikasi ataupun huruf Arab yang dipelajari untuk mendalami agama Islam. Akibatnya, aksara Lota pun mati pelan-pelan. Bahkan, saat ini pun kalangan tua sudah banyak yang lupa membaca dan menulis aksara itu.

Saat bergerak ke selatan Ende, tepatnya di Kampung Puubara, Desa Borokanda, Ende, tim Ekspedisi NTT Kompas bertemu Mustafa Saleh Nggae (52), salah seorang warga Ende yang peduli dan mencoba menyelamatkan aksara Lota dari kepunahan. Mustafa juga termasuk segelintir orang yang masih lancar menulis dan membaca aksara Lota dari total penduduk Ende yang berjumlah sekitar 250.000 jiwa.

Tidak ada yang menyuruh ataupun memaksa Mustafa untuk menekuni aksara Lota yang bentuknya mirip huruf Hiragana itu. ”Saya mulai belajar menulis dan membaca aksara Lota saat usia 30 tahun,” katanya.

Digunakan orang tua
Waktu itu, Mustafa tergerak mempelajari aksara Lota karena masyarakat yang bisa membaca dan menulis aksara Lota yang tersisa jumlahnya bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Kalaupun ada yang bisa, usianya sudah melewati 50 tahun. Padahal, aksara Lota selalu digunakan para orang tua yang mengkhitankan anak atau warga yang akan membangun rumah baru.

Si empunya hajat biasanya minta dibacakan riwayat hidup, asal-usul, dan keadaan keluarganya yang tertulis dalam aksara Lota dan disampaikan dalam bentuk wo’i (nyanyian ratapan, prosa naratif tentang kejadian alam, riwayat hidup seseorang, dan lainnya).

Wo’i biasanya disampaikan di hadapan undangan di acara hajatan. Karena pendendang membaca dalam irama sedih, tidak sedikit undangan meneteskan air mata karenanya. Realitas itu yang membuat Mustafa bertekad mempelajari Lota. Ia tidak ingin sepeninggal generasi tua itu, aksara Lota hilang ditelan zaman.

Mustafa tidak berhenti di cita-cita. Dia juga mempelajari huruf Lota kepada kakeknya, Abdul Fatah (almarhum), yang tinggal di Pulau Ende. Kakeknya itu memang menguasai aksara Lota dan sering diminta menjadi pendendang wo’i beraksara Lota.

Niatnya yang bulat menyebabkan Mustafa kemudian tinggal sementara di Pulau Ende yang kalau ditempuh dengan perahu motor dari Kota Ende perlu waktu sekitar 45 menit. Ia belajar Lota rata-rata dua kali sehari setelah makan siang dan seusai shalat magrib. Keseriusannya menampakkan hasil. Dalam waktu tiga bulan, Mustafa lancar membaca dan menulis aksara Lota serta menguasai cengkok wo’i dengan baik.

Saking melekatnya wo’i dalam benaknya, Mustafa selalu dipanggil untuk mengekspresikan perasaannya pada banyak acara adat. Saat ini Mustafa sering diundang untuk membaca wo’i dalam acara resmi yang digelar Pemerintah Kabupaten Ende.

Tak ada regenerasi
Cita-cita Mustafa untuk meneruskan warisan leluhurnya kini mulai tercapai. Warga yang mengadakan hajatan hampir pasti meminta jasa Mustafa membaca wo’i. ”Mau dibayar berapa, terserah keikhlasan pengundang saja,” ucapnya soal upah dari jasa yang diberikannya. Dia lebih peduli jika aksara Lota itu semakin dikenal dan tidak ditinggalkan oleh masyarakat ataupun generasi mendatang.

Meski demikian, ia tetap saja risau aksara Lota ini akan hilang. Gelagat itu terindikasi dalam tiga tahun terakhir. Hampir tidak pernah lagi ada hajatan pernikahan dan sunatan yang diramaikan acara wo’i.

Kerisauan Mustafa ini bukan karena pendapatannya atau mata pencariannya terancam ikut hilang. Selama ini, sumber penghasilan utama Mustafa adalah dari menenun sarung tradisional Ende. Benangnya menggunakan pewarna alami. Selembar kain tenun buatan Mustafa dihargai tak kurang dari Rp 1,5 juta.

Mustafa lebih mengkhawatirkan hilangnya generasi masa depan Ende yang mengenal aksara Lota. ”Sebenarnya tidak sulit belajar Lota. Asalkan serius, tiga bulan pasti bisa baca-tulis Lota. Tapi, anak-anak muda sekarang tampaknya tidak suka belajar tulisan ini. Padahal, saya bersedia mengajar anak-anak di kampung ini,” katanya.

Strategi belajar Lota dimulai dari menghafal bentuk huruf, suku kata, dan konsonannya. ”Untuk lancar membaca aksara itu diperlukan waktu paling lama seminggu,” kata anak sulung dari empat bersaudara pasangan Muhamad Saleh-Jaenab itu.

Ketiadaan regenerasi diperparah lagi dengan sangat sedikitnya naskah Lota. ”Saya menyesal karena beberapa tulisan aksara Lota tidak saya simpan,” katanya.

Aksara Lota yang dibaca dalam bentuk wo’i biasanya dipegang si empunya hajat, dijadikan ”pusaka” karena isinya menyangkut silsilah keluarga, sejarah pemilikan tanah, dan lainnya. Bahkan, ada naskah Lota yang disimpan warga yang untuk melihat dan membacanya saja harus didahului acara khusus.

Penelitian lapangan selama dua bulan yang dilakukan Maria Matildis Banda di Ende tahun 1993 menunjukkan, setidaknya ada 20 naskah Lota. Jumlah itu amat sedikit dibandingkan naskah Sunda (789 naskah) yang dikoleksi di perpustakaan dalam dan luar negeri serta 554 naskah Sunda yang disimpan masyarakat.

”Saya baru sadar kalau penting sekali mempunyai catatan Lota. Mulai sekarang, saya menyempatkan waktu luang membuat catatan harian khusus dengan tulisan Lota, sekaligus untuk selalu mengasah membaca dan menulis,” ungkap Mustafa yang dengan upayanya sendiri mengonservasi aksara Lota di ambang kepunahannya.(Samuel Oktora dan Khaerul Anwar)

www.kompas.com
Read more...
Friday, 3 December 2010

Perbedaan Asuransi Syariah dan Konvensional

0 comments
Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.

Perbedaan tersebut adalah:

1. Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
3. Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya

4. Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
5. Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
6. Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
7. Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.

www.asuransisyariah.net
Read more...

Apa Itu Mirin?

0 comments
Mirin
Mirin adalah bumbu dapur untuk masakan Jepang berupa minuman beralkohol berwarna kuning, berasa manis, mengandung gula sebanyak 40%-50% dan alkohol sekitar 14%. Mirin digunakan pada masakan Jepang yang diolah dengan cara nimono (merebus dengan kecap asin dan dashi) dan campuran untuk berbagai macam saus, seperti saus untuk kabayaki (tare), saus untuk soba (soba-tsuyu), saus untuk tempura (tentsuyu) dan saus teriyaki.

Kandungan alkohol pada mirin dapat menghilangkan rasa amis pada ikan dan mengurangi risiko hancur bahan makanan yang dimasak. Kandungan gula pada mirin digunakan untuk menambah rasa manis bahan makanan yang dimasak, membuat mengkilat bahan makanan yang dimasak cara teriyaki dan menambah harum masakan.

Asal-usulnya mirin adalah minuman keras mahal dengan rasa manis yang sering diminum pada zaman Edo sebelum orang Jepang meminum jenis sake seperti yang diminum sekarang ini.

Ada beberapa pendapat tentang asal usul mirin yang semuanya tidak dapat dibuktikan kebenarannya:

* Mirin berasal dari minuman keras dengan rasa manis asal Tiongkok disebut meirin yang diperkenalkan di Jepang pada zaman Sengoku.
* Mirin sudah ada sejak zaman dulu di Jepang, asalnya dari sake berasa manis yang ditambah minuman keras hasil fermentasi yang disebut shochu supaya tidak lekas busuk.

Penggunaan kata mirin pertama kali ditemukan dalam buku catatan harian Komai-nikki yang ditulis pada tahun 1593, sedangkan cara pembuatan mirin ditemukan dalam Honcho shokkan yang ditulis pada tahun 1695. Penggunaan mirin sebagai saus makanan yang dipanggang (kabayaki) baru dimulai sejak pertengahan zaman Edo.

Cara pembuatan mirin, pertama beras ketan dikukus dan dicampur dengan ragi, lalu ditambah semacam arak yang disebut shochu atau semacam alkohol yang membantu proses peragian, lalu didiamkan selama 60 hari. Sesudah peragian selesai, bahan-bahan diperas dan disaring. Enzim emilase yang dikandung oleh ragi mengubah karbohidrat dalam beras menjadi gula, sedangkan asam suksinat dan asam amino memberi rasa “dalam” pada mirin. Kadar alkohol ditekan oleh ragi sehingga kadar gula yang tersisa pada mirin lebih tinggi dibandingkan sake.

Mirin diminum di Jepang sebagai campuran Shirozake yang diminum pada perayaan Hina Matsuri atau campuran sake yang diminum pada tradisi toso mendoakan keselamatan di hari pertama tahun baru. Di Jepang, mirin merupakan minuman keras sama halnya seperti bir atau wiski yang dikenakan pajak minuman keras dan pembuatannya juga memerlukan izin khusus. Sampai tahun 1996, mirin hanya bisa dibeli di toko yang mempunyai izin menjual minuman keras, tapi sekarang boleh dijual di mana saja dan penjual hanya memerlukan izin menjual mirin secara eceran.

Nah, sekarang keluarga muslim sudah mengetahui mengapa mirin diharamkan sebagai bahan masakan atau saus atau untuk dikonsumsi sebagai minuman keras. (dkm/wikipedia)


www.halalguide.info
Read more...

Label

 
Wong Leces © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

Man Jadda Wajada. Siapa yang Bersungguh-sungguh Akan Berhasil