Wednesday, 24 February 2010

Sulitnya Merapikan Lembaran Lusuh

0 comments
Probolinggo - Pabrik kertas yang terletak di Desa Leces, Kecamatan Leces, Kab. Probolinggo berdiri sejak republik ini belum merdeka. Didirikan pada 1939 dan beroperasi setahun kemudian,  PTKL menjadi pabrik kertas tertua kedua setelah PT Kertas Padalarang, Jabar. Tetapi usia tua bukan jaminan perusahaan itu semakin sehat kinerjanya. Kini, PTKL justru mirip lansia yang sakit-sakitan.

Menneg BUMN, Mustafa Abubakar di hadapan Komisi VI DPR RI, Senin (15/2) berterus terang, ada 8 BUMN yang merugi 3 tahun berturut-turut. PTKL bertengger di urutan pertama sebagai perusahaan yang merugi pada 2006, 2007, dan 2008.

”Benar yang dikatakan Menneg BUMN, kami memang merugi selama 3 tahun. Pada 2009 belum diketahui rugi atau untung karena masih menunggu audit dari kantor akuntan publik,” ujar Sekretaris Perusahaan (Sekper) PTKL, Prof Dr Ir R Abdul Haris MM, Senin (15/2) malam.

Menurut keterangan Mustafa, PTKL merugi akibat hanya beroperasi 30% dari total kapasitasnya. BUMN berlogo burung hantu itu terus dihantui kesulitan likuiditas, kekurangan bahan baku, dan beban karyawan yang tidak sebanding dengan produksi. Kesulitan pasokan gas alam sebagai bahan bakarnya dianggap pemicu awal beragam kesulitan itu.

Belum lagi masih adanya beban utang. Langkah penyelesaiannya adalah menambah penyertaan modal negara Rp 100 miliar menjadi Rp 175 miliar pada 2007, serta melakukan konversi bahan bakar dari gas alam ke batubara.

Untuk memotret kinerja PTKL yang jeblok pada 2006-2008 paling tidak bisa dibingkai pada periode lima tahunan, semasa Pemilu 2004 hingga Pemilu 2009. Dalam Pemilu 2004, dilanjutkan dengan Pemilihan Presiden di tahun yang sama, PTKL sebenarnya sempat menikmati lezatnya buah pesta demokrasi.

Seorang aktivis buruh SPKL, M. Arham bahkan menyebut saat Pemilu 2004 PTKL meraup keuntungan sekitar Rp 100 miliar. Bisa dikatakan, PTKL yang sebelumnya selama tiga tahun berturut-turut (2001-2003) merugi, baru meraup untung pada 2004.

Di tahun 2005, PTKL menunjukkan kedigdayaannya dengan membagi bonus sebesar Rp 1,4 miliar kepada 3.017 karyawan.

Tetapi saat Pemilu 2009 lalu, PTKL terpaksa gigit jari. Suyono, aktivis buruh lain SPKL menyebutkan, pada Pemilu 2009 dari total kebutuhan 30.000 ton kertas suara dan 10.000 ton kertas pemilih, PTKL hanya mendapatkan jatah 300 ton kertas. Pada 2009 lalu pabrik yang memproduksi beragam jenis kertas seperti kertas cetak dan tulis, kertas koran, hingga kertas tisu itu produksinya terjun bebas. Bahkan sempat selama 6 bulan PTKL berhenti berproduksi. Baru pertengahan Februari 2009, PTKL mulai berproduksi kembali. Sayang, baru sekitar sebulan berproduksi, PTKL dihempas unjuk rasa besar-besaran.

Sekitar 2.300 karyawan dari total 2.600 karyawan PTKL berdemonstrasi di halaman kantor Direksi PTKL. Mereka mendesak pergantian jajaran direksi yang dinilai tidak lagi mampu mengendalikan ”kapal raksasa” (PTKL) yang sebagian buritannya mulai karam.
           
Boiler Batubara
Di antara penyebab meruginya PTKL adalah mahalnya gas alam sebagai bahan bakar. Tentu saja PTKL tak ingin terus menerus bercokol dalam daftar BUMN yang bertahun-tahun merugi. PTKL pun kemudian membangun boiler batubara sebagai pengganti gas alam. Dan momen jam 10, tanggal 10, bulan 10, tahun 2009 seolah demikian sakral bagi PTKL. Soalnya pada momen tersebut dilakukan pemancangan tiang pertama (ground breaking ceremony) pembangunan boiler batubara. Biaya pembangunannya disokong pemerintah pusat senilai Rp 175 miliar melalui penyertaan modal negara pada 2007.

“Diharapkan pada jam 10, tanggal 10, bulan 10, tahun 2010, boiler batubara itu bisa diresmikan dan dioperasikan,” ujar Prof Haris.

Acara pemancangan tiang pertama penuh simbol “keramat” bilangan 10 itu dihadiri Deputi Agroindustri Kementerian BUMN, Ir Agus Pakpahan dan Komisaris Utama PT Kertas Leces, Singgih Riphat. Tampak pula Dirut PT Kertas Leces, Ir Martoyo Sugandi dan Dirut PT Waskita Karya (Persero) Ir M. Kholid MM.
Pejabat Pembuat Komitmen PTKL, Syarif Hidayat melaporkan, konversi gas alam ke batubara menjadi pilihan bijak. “Harga gas alam terus naik sehingga mempengaruhi biaya produksi yang membuat PT Kertas Leces tidak akan bisa bersaing terhadap perusahaan sejenis,” ujarnya.

Dengan menggunakan boiler batubara, kata Syarif, PTKL bisa lebih hemat. “Sebagai perbandingan, pakai gas alam butuh 160 dollar AS per ton kertas, sementara dengan batubara perlu 80 dollar AS,” ujar Syarif.

Ide pembangunan boiler batubara sendiri sudah muncul sejak 2005 silam dan langsung disosialisasikan di tahun yang sama. Tender pertama digelar akhir 2006, namun kontrak kemudian dibatalkan. Tender kedua digelar akhir 2008-awal 2009 yang berakhir tanpa pemenang. Barulah pada tender ketiga, Direksi PTKL berhasil memilih PT Waskita Karya sebagai rekanan proyek boiler batubara.

Soal tender boiler batubara yang bertele-tele itu, Komisaris Utama PTKL, Ir Singgih Riphat mengakuinya. “Mungkin ini proyek BUMN terpanjang, rumit, dan berbelit-belit. Pada tender pertama kontraktor mundur, selanjutnya tidak ada pemenang tender,” ujar Singgih.

Akhirnya pada tender ketiga, Kementerian BUMN menyetujui PT Waskita Karya sebagai rekanan proyek. “Dengan begitu ada sinergi sesama BUMN,” ujar Dirut PT Waskita Karya, Ir M. Khalid MM.

Konversi gas alam ke batubara memang langkah strategis. Boiler batubara bisa menghemat biaya energi hingga 50 persen. “Padahal, energi menyumbang 20 persen komponen biaya produksi,” ujar Dirut PTKL, Ir Martoyo Sugandi.

“Diet” Karyawan
Langkah lain PTKL adalah penyusutan jumlah karyawan. Prof Haris menyebut pabrik kertas modern idealnya mempunyai 1.600-1.700 karyawan, sementara PTKL memiliki lebih dari 2.000 karyawan. Ini pun sudah hasil “diet”. Pada tahun 2007 karyawan PTKL mencapai sekitar 2.500 orang.

“Pengurangan karyawan saat itu bukan APP (atas permintaan perusahaan), tetapi melalui APS (atas permintaan sendiri) sekitar 500 karyawan,” ujar Ketua Serikat Pekerja Sejahtara Kertas Leces (SPSKL), Imam Suliono.

Sebenarnya perusahaan menargetkan 1.000 karyawan, tetapi sekitar 500 saja yang bersedia lengser melalui APS. Mereka ini mendapat pesangon 100% plus 80%. Karyawan yang pesangonnya sesuai UU Menakertrans Rp 100 juta, misalnya, mendapatkan pesangon Rp 180 juta.

Selain pengurangan karyawan, para buruh sebelumnya sudah lebih dulu berkorban. Sejumlah tunjangan seperti tunjangan tetap, tunjangan jabatan, tunjangan shift, hingga tunjangan kesejahteraan dikepras. Contoh kecil, seragam yang dulu berganti tiap tahun, kini berganti 2 tahun sekali. Tunjangan sepatu yang dulu diberikan tiap 2 tahun, kini sudah 4 tahun belum dijatah lagi. Tak hanya itu, jatah gula dan susu bagi karyawan pun dikurangi. Khusus jatah susu diberikan kepada karyawan yang bekerja di lingkungan berbahan kimia. ”Biar badan tetap fit diberi minum susu, tetapi jatah susunya kemudian berkurang,” ujar Ketua SPSKL, Imam Suliono.

Jatah buku tulis yang diterima karyawan pun juga dikepras. Sebelumnya, dalam satu tahun karyawan menerima 12 kali paket buku tulis atau sebulan sekali berisi 30 eksemplar buku tulis. Kini, jatah mereka tinggal 9 kali paket.

Dengan kondisi yang terseok-seok, mengapa PTKL masih dipertahankan?
Deputi Agro Industri Kementrian BUMN, Ir Agus Pakpahan punya jawabannya. Menurut dia, pangsa pasar kertas BUMN yang tinggal 2 persen perlu dipertahankan karena dua faktor. Pertama, sejarah. PTKL adalah salah satu dari 2 perintis industri kertas di Indonesia yang masih bertahan. Kedua, PTKL ramah lingkungan karena PTKL bisa “memakan” (bahan baku) ampas tebu (bagase), jerami, hingga batang jagung. “Bayangkan, 30 ribu hektare areal tebu ekuivalen dengan 500 ribu hektare kayu,” ujar Agus.

Ini juga sesuai dengan tren kertas di dunia yang mengarah ke kertas kuning (brown paper). ”Brown paper atau kertas kuning termasuk non-wood pulp (serat non-kayu), sehat untuk mata, dan prospek pasarnya bagus,” ujar Agus.

Selama ini PTKL”memakan” 1.000 ton bagase ditambah bahan baku kertas koran bekas. Hasilnya, 500 ton kertas baru per hari.

Sayangnya, predikat ramah lingkungan ini terancam oleh menipisnya bahan baku. ”Bagase terus berkurang. Banyak pabrik gula memanfaatkan bagase untuk bahan bakar tambahan mereka sendiri,” ujar Prof Haris. Jadi?

www.surabayapost.co.id

Leave a Reply

Label

 
Wong Leces © 2011 DheTemplate.com & Main Blogger. Supported by Makeityourring Diamond Engagement Rings

Man Jadda Wajada. Siapa yang Bersungguh-sungguh Akan Berhasil